Dingin. Angin menerpa bagian atas tenda sehingga lembaran tipisnya berbunyi seperti dipukul benda keras. Di dalam tenda, berbaring sejumlah pemuda yang kelelahan setelah tiga jam mendaki menuju tempat ini.
Dengan kepenatan, mereka ternyata tak menikmati tidur nyaman. Dingin yang menusuk, juga gangguan kebisingan akibat posisi tenda yang tidak dipasang terlindung dari angin memaksa sebagian besar orang terjaga hingga pagi tiba. Kelompok tiba di puncak menjelang gelap. Kabut putih kadang tampak mengelilingi. Di tengah malam, bebatuan tampak berpendar putih di bawah cahaya bulan. Bibir terasa mengering meskipun suhu sangat dingin, yang lebih menusuk lagi menjelang fajar tiba. Mengatasi hawa, salah satu perserta menyalakan api, lalu berbaring di dekatnya.
Siapa mereka, dan di mana mereka? Mereka adalah dua puluh empat pemuda yang baru tiba dari Waiwerang. Malam itu mereka lewatkan di puncak Ile Boleng untuk mengibarkan sang merah putih di titik tertinggi Adonara, tujuh belas Agustus lalu.
Perjalanan mereka menanjak melewati jalur curam. Ditemani tiga tokoh adat setempat sebagai pemandu kelompok, para pemuda Adonara ini pun akhirnya mencapai puncak Ile Boleng tepat pukul lima sore, tanggal enam belas Agustus. Tepat saat kegiatan pendakian, mereka pun turut didoakan dalam intensi missa syukur kemerdekaan di Gereja Paroki Kristus Raja Waiwerang.
Dalam pendakian, barisan panjang mereka kadang terpecah. Saat tiba di perhentian, jika kelompok berikutnya tiba, kelompok yang terdahulu segera memulai kembali pendakian. "Kalau keringat kalian mulai mengering, kamu tidak lagu bersemangat nantinya" salah seorang peserta mengingatkan.
Persiapan keberangkatan dimulai di sekretariat kelompok di kota Waiwerang. Mereka dilepas dari kantor camat menuju Lamahelan, kampung terakhir sebelum pendakian. Di Lamahelan, mereka diterima di kediaman kepalan dusun Lewobele dan kemudian dilepas menuju Ile Boleng.
Meski hanya melewati satu malam di puncak, persiapan pun mesti dilakukan. Bekal secukupnya, pakaian untuk menahan dingin, sepatu dan tongkat, juga obat-obatan P3K. Untuk menemani malam, ubi dan pisang dibakar di atas api unggun pun disantap sebagai pelengkap makanan kering yang juga turut dibawa. Salah satu peserta memikul tandan pisang ini dari kampung terakhir sebelum pendakian!
Saat pagi tiba, sebagian peserta mengisi kesempatan menyaksikan indahnya sunrise. Peserta yang membawa kamera pun mengabadikan jam demi jam saat mereka berada pada titik tertinggi di Adonara ini. Saat yang ditunggu, jam delapan pagi 17-08-20011, bendera merah putih pun dikibarkan.
Setelah itu, kelompok pun bergegas menuruni gunung. Perjalanan cukup menantang. Sejumlah insiden kecelakaan kecil pun terjadi. Memang, kelompok tidak dilengkapi peralatan pengaman standar untuk pendakian. Walapun demikian, insiden tersebut dapat ditangani berkat perlengkapan P3K yang tersedia.
BABECEK, nama kelompok pemuda ini, barangkali tepat dengan penampilan mereka saat baru tiba dari pendakian. Pakaian lusuh, sejumlah peserta bahkan sobek-sobek pakaiannya karena tergelincir, ransel yang kotor dengan noda tanah berpasir, dan juga sebagian peserta yang berbalut perban karena luka gesek. Tiba di kota Waiwerang, kelompok ini ikut dalam apel penurunan bendera sore harinya, dan mendapat salam profisiat dari Camat selaku inspektur upacara dan para undangan. Edi, koordinator kelompok saat ditemui di sekretariat mengatakan, di saat mendatang, kegiatan ini direspon pemerintah kecamatan setempat dengan melibatkan pelajar. Selamat dan proficiat.