"Tadi saya untung empat juta", cerita sesama pengusaha pengumpul hasil bumi. "Untung bersih!", tegasnya.
Empat juta dalam sehari pasar, dengar itu. Barangkali juga karena harga sedang bagus-bagusnya. Dia seumuran saya, tamat SMA, teman SMP saya, yang memilih jadi pengusaha kecil-kecilan.
Setiap hari pasar, berkuintal-kuintal bahkan berton-ton barang dibawa dari desa-desa untuk dijual. Ada jambu mente, kepok, kemiri, kopra, dan lainnya. Desa dapat apa?
Saya pernah live in di Rote, desa Tesabela. Di sana ada sawah luas. Tiap kali orang giling beras, ada bagian satu dua kaleng dikumpul. Itu bukan bayaran uang, sebab uang dibayar sendiri. Itu beras nanti jadi kas untuk desa.
Ada pula sawah desa. Si kepala desa, meskipun tidak mengerjakan sawahnya, tetapi ia punya beras dari sawah itu. Nah, si kepala desa fokus mengurus desanya, tanpa terbagi fokus mengurus kebun.
Tidak heran kalau mereka menikmati kemajuan, listrik, air dan jalan raya tersedia. Desa aman tenteram, warga taat. Tak perlu sibuk urus tuntut pemerintah bayar gaji seperti kalau jadi sekretaris desa.
Kan kalau aparat digaji pemerintah, maka aparat lebih memilih mengabdi kepada pemerintah daripada kepada warga. Ini yang jadi soal.
Nah, kalau aparat digaji oleh warga dengan potongan hasil bumi seperti yang diterapkan di Rote, bisa saja kan? Warga kan kaya. Lihat saja, meski si pengusaha sudah dapat untung rebis empat juta satu hari pasar, warga masih juga dapat cukup uang. (smpt)