Seorang
mahasiswi, dan juga peminat masalah tenun ikat lamaholot, mengatakan begini: “Dalam
kasus kewatek, (...........) beberapa hal menyangkut produksi juga menjadi
kendala; misalnya penenunan tidak bisa dilakukan ketika ada kemalangan.....”
Yang
saya ambil kutip: penenunan tidak bisa
dilakukan ketika ada kemalangan.....”. Ini istilahnya hari “libur adat”
(merujuk pada salah satu artikel yg dilarang untuk dikutip, jd jgn bilang2 yah J).
Memang,
ketetapan adat tentang ‘libur adat’ berlaku jika ada kemalangan (kedukaan,
istilahnya ‘reron onen’, yaitu pada saat orang meninggal hingga tiga hari
sesudahnya kalau di kampung saya). Selain itu, libur adat juga berlangsung pada
peristiwa lain seperti ‘tobo adat’ alias pembicaraan belis dll.
Nah,
ini yang perlu juga dikaji, apakah ketetapan libur adat ini perlu disesuaikan
dengan tuntutan jaman. Batasan/cakupan wilayah berlakunya libur adat, mungkin
sampai dengan saat ini, adalah berlangsung untuk satu kampung kalau di kampung
saya, yang meliputi tiga dusun. Meskipun ada satu dusun lagi masih dalam satu
desa, tapi mereka tidak termasuk.
Asal
muasalnya kira-kira begini: pada jaman dahulu, ketika jumlah penduduk suatu
kampung masih sedikit, maka setiap peristiwa peristiwa ‘besar’ dalam kelompok
mesti melibatkan seluruh anggota kelompok tersebut. Untuk menanggulangi jangan
sampai ada anggota yang tidak melibatkan diri, maka dirumuskanlah kebiasaan
ini, meskipun tidak secara tertulis, tetapi sebagai ketetapan yang selalu
dijaga pelaksanaannya. Kebiasaan ini tetap berlaku sampai sekarang.
Hal
ini menjadi tidak praktis manakala suatu kampung semakin meluas alias membesar,
maka batasan ini akan sangat mengganggu karena bisa-bisa sepanjang tahun ada
lebih banyak peristiwa kedukaan (dengan adanya pertambahan penduduk, terutama
penduduk usia tua, maka tingkat mortalitas di wilayah bersangkutan menjadi
meningkat meski prosentasinya tetap bahkan menurun) yang membuat jumlah hari
‘libur adat’ menjadi semakin banyak. Belum lagi peristiwa adat lain yang juga
temasuk dalam ketetapan ‘libur adat’. Padahal, di samping itu ada juga libur
agama dan hari libur nasional.
Sampai
kini, saya tidak ada referensi hasil penelitian tentang batasan libur adat ini.
Apa ketetapan libur adat ini berlangsung dengan cakupan lewo, suku, atau lewo
yang masih bersebelahan?
Di
tengah-tengah penetapan hari-hari libur yang makin meningkat dari tahun ke
tahun, orang malah mencita-citakan untuk menghapus hari-hari libur yang makin
manjadi-jadi ini. Alasannya tentu sederhana, dengan adanya hari libur yang
makin banyak, maka produktifitas kita menjadi anjlok dan sangat mengganggu daya
saing kita sebagai sebuah bangsa di mata dunia.