Jumat, 03 Agustus 2012

Libur Adat

Seorang mahasiswi, dan juga peminat masalah tenun ikat lamaholot, mengatakan begini: “Dalam kasus kewatek, (...........) beberapa hal menyangkut produksi juga menjadi kendala; misalnya penenunan tidak bisa dilakukan ketika ada kemalangan.....”
Yang saya ambil kutip: penenunan tidak bisa dilakukan ketika ada kemalangan.....”. Ini istilahnya hari “libur adat” (merujuk pada salah satu artikel yg dilarang untuk dikutip, jd jgn bilang2 yah J).
Memang, ketetapan adat tentang ‘libur adat’ berlaku jika ada kemalangan (kedukaan, istilahnya ‘reron onen’, yaitu pada saat orang meninggal hingga tiga hari sesudahnya kalau di kampung saya). Selain itu, libur adat juga berlangsung pada peristiwa lain seperti ‘tobo adat’ alias pembicaraan belis dll.
Nah, ini yang perlu juga dikaji, apakah ketetapan libur adat ini perlu disesuaikan dengan tuntutan jaman. Batasan/cakupan wilayah berlakunya libur adat, mungkin sampai dengan saat ini, adalah berlangsung untuk satu kampung kalau di kampung saya, yang meliputi tiga dusun. Meskipun ada satu dusun lagi masih dalam satu desa, tapi mereka tidak termasuk.
Asal muasalnya kira-kira begini: pada jaman dahulu, ketika jumlah penduduk suatu kampung masih sedikit, maka setiap peristiwa peristiwa ‘besar’ dalam kelompok mesti melibatkan seluruh anggota kelompok tersebut. Untuk menanggulangi jangan sampai ada anggota yang tidak melibatkan diri, maka dirumuskanlah kebiasaan ini, meskipun tidak secara tertulis, tetapi sebagai ketetapan yang selalu dijaga pelaksanaannya. Kebiasaan ini tetap berlaku sampai sekarang.
Hal ini menjadi tidak praktis manakala suatu kampung semakin meluas alias membesar, maka batasan ini akan sangat mengganggu karena bisa-bisa sepanjang tahun ada lebih banyak peristiwa kedukaan (dengan adanya pertambahan penduduk, terutama penduduk usia tua, maka tingkat mortalitas di wilayah bersangkutan menjadi meningkat meski prosentasinya tetap bahkan menurun) yang membuat jumlah hari ‘libur adat’ menjadi semakin banyak. Belum lagi peristiwa adat lain yang juga temasuk dalam ketetapan ‘libur adat’. Padahal, di samping itu ada juga libur agama dan hari libur nasional.
Sampai kini, saya tidak ada referensi hasil penelitian tentang batasan libur adat ini. Apa ketetapan libur adat ini berlangsung dengan cakupan lewo, suku, atau lewo yang masih bersebelahan?
Di tengah-tengah penetapan hari-hari libur yang makin meningkat dari tahun ke tahun, orang malah mencita-citakan untuk menghapus hari-hari libur yang makin manjadi-jadi ini. Alasannya tentu sederhana, dengan adanya hari libur yang makin banyak, maka produktifitas kita menjadi anjlok dan sangat mengganggu daya saing kita sebagai sebuah bangsa di mata dunia.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: