Pengertian untuk kata pertama dari judul di atas sebenarnya
masih rancu! Soalnya, mistik sendiri adalah salah satu ilmu yang dapat
dipelajari.
Kalau anak sekolah belajar ilmu fisika, maka yakin
dia bisa belajar ilmu mistik. Hanya saja, ilmu mistik sendiri adalah pelajaran
yang merupakan bagian dari filsafat, jadi tidak diajarkan di sekolah umum. Tetapi
istilah ‘mistik’ sering diartikan berbeda, jauh dari penggunaan arti di bidang
ilmu ini.
Thus, jika kamu belum pernah tertarik dengan bibliografi
filsafat yang sering jadi pelajarannya calon-calon pendeta/agamawan, kamu
mungkin mengartikan kata ‘mistik’ ini dengan arti lain. Mudahnya, saya sebut saja
arti lain ini sebagai ‘arti awam’, yaitu arti sejauh dipahami orang awam alias
tak berpendidikan khusus.
Coretan kecil ini memang saya buat spontan setelah
membaca kisah singkat dengan judul ‘Mistik Di Bali’ dari sebuah media. Isi
tulisan pun mirip-mirip, hanya beda tempat. Kalau yang tadi kejadiannya di
Bali, cerita yang ini terjadi di seputar kampung saya di salah satu pelosok
Indonesia ini. Untuk selanjutnya, saya pakai kata mistik untuk arti awam, bukan
arti ilmiahnya.
Orang awam mengartikan ‘mistik’ sebagai suatu
gejala yang aneh, yang tidak dimengerti akal sehat (common sense). Ini juga
yang dipakai oleh si penulis artikel yang sempat saya sebut di atas, yang
tulisannya dimuat di Indonesia Media, sebuah dwimingguan digital gratisan
bikinan teman-teman kita yang lagi merantau di luar negeri.
Di artikel, si penulis masukkan unsur-unsur cerita
yang berkembang di kalangan awam seputar kepercayaan tentang berlangsungnya
peristiwa yang tak begitu saja diterima akal sehat. Sikap tidak ilmiah orang
awam memang sangat kentara, ketika mereka mempercayai sesuatu tanpa mengujinya.
Ini termasuk dalam kisah-kisah ‘mistik’ ini, di mana orang tetap tak bersikap
ilmiah dengan mempercayainya sebagai fakta.
Cerita mistik pertama kali, saya dengar dari guru sekolah.
Lho?
Yah, itu dari seorang guru SD saya, yang
menceritakan kepada seluruh siswa di kelas tentang ‘bagaimana seorang pencuri
dapat menghilang’. Diceritakan dengan begitu mendetail tentang bagaimana cara
kerjanya sehingga seorang manusia menjadi tidak kelihatan meski sedang berada
di depan kita. Kata pak guru, orang tersebut menggunakan ilmu kesaktian.
Syarat-syarat untuk mendapat kesaktian ini pun diceritakan dengan begitu rinci
olehnya layaknya sebuah buku panduan penggunaan obat gosok.
Dengan tingkat pemikiran saya waktu itu, mungkin
kelas empat atau lima SD, saya antara percaya dan tidak. Jadi kemungkinan masih
fifty fifty. Saya tidak percaya, karena itu tidak masuk di akal. Tetapi saya
percaya, karena tuntutan kepercayaan: masakan seorang bapak guru yang selalu
dipercaya, menceritakan sebuah kebohongan?
Belakangan, ketika saya menyimak film Susana
(tokoh kawakan untuk genre film horror-nya Indonesia), saya lalau paham bahwa
cerita yang dulunya hampir-hampir saya percayai ternyata hanyalah sebuah karya
fiksi. Tepatnya, cerita pak guru sebenarnya hanyalah ‘salinan’ dari film
Susana, tak melenceng sedikit pun! Saya lalu berkesimpulan, bahwa cerita ini sampai
ke kampung dari obrolan tentang jalan cerita film, yang tiba-tiba berubah wujud
jadi ‘fakta’ yang dipercayai. Memang, SD saya waktu itu yang ada di kampung
pedalaman menyebabkan semua siswa tidak pernah melihat yang namanya layar TV
sebelum lanjut SMP ke kota.
Saya juga belum paham betul, apa motivasi si guru
menceritakan itu ke kami. Untuk menakut-nakuti, atau apalah yang cocok untuk
anak SD. Yang saya sesalkan, apa saja yang masuk ke telinga kecil kami tentu
saja punya pengaruh psikologis, kecuali bahwa sebelumnya ia harus katakan
dahulu kalau ceritanya ini hanyalah khayalan belaka. Saya tidak tahu apa ini
dipertimbangkan juga oleh si guru.
Saya lalu mulai terbiasa mendengar cerita mistik
ini. Di kampung, sebuah cerita sering berkembang sangat cepat. Misalnya cerita
tentang babi ngepet, tokoh suwanggi, dan lain-lainnya. Tokoh-tokoh itu dapat
diulas dengan sangat rinci. Misalkan saja, seorang ibu yang di kampung kami
dipandang biasa saja, eh, di kampung sebelah berkembang cerita bahwa si ibu dapat
berubah wujud menjadi babi ngepet. Di kampung kami sendiri pun berkembang
cerita bahwa seorang di kampung lain dapat berubah menjadi babi ngepet dan
sedapat mungkin harus dihindari. Saya pandang bahwa cerita itu sama saja.
Mungkin orang tersebut di kampungnya dikenal sebagai seorang wanita seperti
biasanya.
Diceritakan bahwa babi ngepet adalah makhluk yang
berbahaya. Mereka dapat menyerang korbannya secara seksual di tempat-tempat
sepi. Mereka juga dapat berubah jenis kelamin, dan sewaktu-waktu dapat berubah
menjadi babi.
Ada pula cerita lainnya tentang tokoh ini. Bahwa
di musim orang siap memanen jagung, babi ngepet ini bisa juga berkeliaran. Babi
ngepet sendiri adalah siluman dari para petani yang malas, yang tidak mempunyai
kebun. Di musim orang menanam, mereka tidak menanam. Ketika musim panen tiba,
dan mereka baru sadar bahwa mereka harus makan, di saat itulah mereka berubah
menjadi babi. Di tengah malam, mereka membawa serta akat-alat penyimpanan makanan
mereka, lalu mulai memasuki ladang penduduk dan mencuri panenan. Ketika
memasuki kebun, mereka berubah wujud menjadi babi. Tetapi karena hanya babi
jadi-jadian, mereka masih bisa bertingkah layaknya manusia. Jadi, biar berwujud
babi, mereka tampak membawa benda-benda buatan manusia. Lalu, ketika ditombak,
mereka dapat saja berubah jadi manusia.
Masih ada cerita mistik lain?
Masih. Ini tentang para pemburu. Di kampung, orang
sering berburu celeng. Nah, cerita ini tentang pemburu. Kabarnya, jika anda gemar
makan celeng, dan pemburunya sendiri tidak menyantapnya, maka mesti diragukan
bahwa ini adalah celeng betulan.
Ceritanya, si pemburu mulanya berniat berburu celeng.
Tetapi celeng sendiri bisa jadi adalah nitu alias makhluk halus. Mulanya mereka
berwujud manusia. Ketika sampai di hutan, pemburu yang awas langsung tahu
ketika melihat si manusia ini sendirian di tengah hutan sambil membasuk kotoran
di kakinya.
Saat itulah si pemburu berteriak.
“Celeng”….. tiba-tiba, wujud manusia langsung
berubah jadi celeng.
Lain kali, jika si pemburu berteriak “Rusa”, maka
wujud manusia itu berubah jadi rusa.
Karena kenal bahwa wujud pertama dari celeng tadi
adalah manusia, maka si pemburu tentu saja tidak akan menyantap celeng
tersebut. Kabarnya, celeng dari wujud manusia ini rasanya tak seenak celeng
asli.
Cerita mistik lain masih ada. Kabarnya, ikan-ikan
dari nelayan bisa jadi bukan ikan benar, tapi dipangil saja dari laut. Ini
berlangsung ketika tangkapan nelayan sedang tidak ada. Ada nelayan yang memakai
jalan pintas, yaitu dengan memanggil ikan. Dia mula-mula mengumpulkan
sampah-sampah, binatang-binatang seperti kadal, cecak, dan lainnya. Lalu dengan
mantra, sampah-sampah serta binatang tersebut langsung berubah menjadi ikan. Ikan
itulah yang kemudian dijual.
Masih ada lainnya, banyak sekali.
Tetapi soal mistik bukalah monopoli orang kampung.
Presiden AS saja kabarnya percaya mistik soal sialnya angka-13. Meskipun
kepercayaan ini dapat dinilai keberadaannya dari sisi psikologis saja. Karena
semua orang mempercayai hal mistik tersebut, maka dirasa sebaiknya dicegah peristiwanya
untuk alas an kenyamanan.
Pernah mengacak-acak artikel, seorang akademisi
pernah menyebut, bahwa certia-cerita mistik ala rakyat ini bisa jadi hanya
ciptaan para penjajah untuk memecah belah. Saya pikir bisa masuk akal, karena
cerita tersebut kadang merujuk pada oknum di kampung lain yang digambarkan
jahat. Bisa jadi, para kolonialis menyebar cerita itu sehingga terjadi
permusuhan dengan kampung lain.
Tetapi belakangan saya simpulkan pula, bahwa kita
harusnya mengambil sikap lain soal kisah-kisah mistik ini. Yaitu dengan
memandang cerita itu sebagai karya kreatif yang menjadi kekayaan rohani kita,
bukan sebagai sebuah fakta ilmiah. Katakanlah itu sebagai sebuah karya sastra, atau
dapat dibandingkan dengan karya fiksi kini semisal novel atau film. Hanya saja
secara tulisan atau dalam gambar hidup, kisah-kisah ini belum sempat muncul.
Kisah-kisah ini dapat memberi ajaran dan hiburan ataupun
untuk perintang waktu, sehingga punya nilai jual. Kalau dongengan-dongengan
seperti “atlantis yang hilang”, atau saja kisah mitologi barat seperti
Herakles, dewa thor, tarzan, dll bisa laku keras, kenapa tokoh suwanggi kita
tidak?