Senin, 08 Oktober 2012

Mistik (Cerita Mistik) vs Karya Kreatif


Pengertian untuk kata pertama dari judul di atas sebenarnya masih rancu! Soalnya, mistik sendiri adalah salah satu ilmu yang dapat dipelajari.
Kalau anak sekolah belajar ilmu fisika, maka yakin dia bisa belajar ilmu mistik. Hanya saja, ilmu mistik sendiri adalah pelajaran yang merupakan bagian dari filsafat, jadi tidak diajarkan di sekolah umum. Tetapi istilah ‘mistik’ sering diartikan berbeda, jauh dari penggunaan arti di bidang ilmu ini.
Thus, jika kamu belum pernah tertarik dengan bibliografi filsafat yang sering jadi pelajarannya calon-calon pendeta/agamawan, kamu mungkin mengartikan kata ‘mistik’ ini dengan arti lain. Mudahnya, saya sebut saja arti lain ini sebagai ‘arti awam’, yaitu arti sejauh dipahami orang awam alias tak berpendidikan khusus.
Coretan kecil ini memang saya buat spontan setelah membaca kisah singkat dengan judul ‘Mistik Di Bali’ dari sebuah media. Isi tulisan pun mirip-mirip, hanya beda tempat. Kalau yang tadi kejadiannya di Bali, cerita yang ini terjadi di seputar kampung saya di salah satu pelosok Indonesia ini. Untuk selanjutnya, saya pakai kata mistik untuk arti awam, bukan arti ilmiahnya.
Orang awam mengartikan ‘mistik’ sebagai suatu gejala yang aneh, yang tidak dimengerti akal sehat (common sense). Ini juga yang dipakai oleh si penulis artikel yang sempat saya sebut di atas, yang tulisannya dimuat di Indonesia Media, sebuah dwimingguan digital gratisan bikinan teman-teman kita yang lagi merantau di luar negeri.
Di artikel, si penulis masukkan unsur-unsur cerita yang berkembang di kalangan awam seputar kepercayaan tentang berlangsungnya peristiwa yang tak begitu saja diterima akal sehat. Sikap tidak ilmiah orang awam memang sangat kentara, ketika mereka mempercayai sesuatu tanpa mengujinya. Ini termasuk dalam kisah-kisah ‘mistik’ ini, di mana orang tetap tak bersikap ilmiah dengan mempercayainya sebagai fakta.
Cerita mistik pertama kali, saya dengar dari guru sekolah.
Lho?
Yah, itu dari seorang guru SD saya, yang menceritakan kepada seluruh siswa di kelas tentang ‘bagaimana seorang pencuri dapat menghilang’. Diceritakan dengan begitu mendetail tentang bagaimana cara kerjanya sehingga seorang manusia menjadi tidak kelihatan meski sedang berada di depan kita. Kata pak guru, orang tersebut menggunakan ilmu kesaktian. Syarat-syarat untuk mendapat kesaktian ini pun diceritakan dengan begitu rinci olehnya layaknya sebuah buku panduan penggunaan obat gosok.
Dengan tingkat pemikiran saya waktu itu, mungkin kelas empat atau lima SD, saya antara percaya dan tidak. Jadi kemungkinan masih fifty fifty. Saya tidak percaya, karena itu tidak masuk di akal. Tetapi saya percaya, karena tuntutan kepercayaan: masakan seorang bapak guru yang selalu dipercaya, menceritakan sebuah kebohongan?
Belakangan, ketika saya menyimak film Susana (tokoh kawakan untuk genre film horror-nya Indonesia), saya lalau paham bahwa cerita yang dulunya hampir-hampir saya percayai ternyata hanyalah sebuah karya fiksi. Tepatnya, cerita pak guru sebenarnya hanyalah ‘salinan’ dari film Susana, tak melenceng sedikit pun! Saya lalu berkesimpulan, bahwa cerita ini sampai ke kampung dari obrolan tentang jalan cerita film, yang tiba-tiba berubah wujud jadi ‘fakta’ yang dipercayai. Memang, SD saya waktu itu yang ada di kampung pedalaman menyebabkan semua siswa tidak pernah melihat yang namanya layar TV sebelum lanjut SMP ke kota.
Saya juga belum paham betul, apa motivasi si guru menceritakan itu ke kami. Untuk menakut-nakuti, atau apalah yang cocok untuk anak SD. Yang saya sesalkan, apa saja yang masuk ke telinga kecil kami tentu saja punya pengaruh psikologis, kecuali bahwa sebelumnya ia harus katakan dahulu kalau ceritanya ini hanyalah khayalan belaka. Saya tidak tahu apa ini dipertimbangkan juga oleh si guru.
Saya lalu mulai terbiasa mendengar cerita mistik ini. Di kampung, sebuah cerita sering berkembang sangat cepat. Misalnya cerita tentang babi ngepet, tokoh suwanggi, dan lain-lainnya. Tokoh-tokoh itu dapat diulas dengan sangat rinci. Misalkan saja, seorang ibu yang di kampung kami dipandang biasa saja, eh, di kampung sebelah berkembang cerita bahwa si ibu dapat berubah wujud menjadi babi ngepet. Di kampung kami sendiri pun berkembang cerita bahwa seorang di kampung lain dapat berubah menjadi babi ngepet dan sedapat mungkin harus dihindari. Saya pandang bahwa cerita itu sama saja. Mungkin orang tersebut di kampungnya dikenal sebagai seorang wanita seperti biasanya.
Diceritakan bahwa babi ngepet adalah makhluk yang berbahaya. Mereka dapat menyerang korbannya secara seksual di tempat-tempat sepi. Mereka juga dapat berubah jenis kelamin, dan sewaktu-waktu dapat berubah menjadi babi.
Ada pula cerita lainnya tentang tokoh ini. Bahwa di musim orang siap memanen jagung, babi ngepet ini bisa juga berkeliaran. Babi ngepet sendiri adalah siluman dari para petani yang malas, yang tidak mempunyai kebun. Di musim orang menanam, mereka tidak menanam. Ketika musim panen tiba, dan mereka baru sadar bahwa mereka harus makan, di saat itulah mereka berubah menjadi babi. Di tengah malam, mereka membawa serta akat-alat penyimpanan makanan mereka, lalu mulai memasuki ladang penduduk dan mencuri panenan. Ketika memasuki kebun, mereka berubah wujud menjadi babi. Tetapi karena hanya babi jadi-jadian, mereka masih bisa bertingkah layaknya manusia. Jadi, biar berwujud babi, mereka tampak membawa benda-benda buatan manusia. Lalu, ketika ditombak, mereka dapat saja berubah jadi manusia.
Masih ada cerita mistik lain?
Masih. Ini tentang para pemburu. Di kampung, orang sering berburu celeng. Nah, cerita ini tentang pemburu. Kabarnya, jika anda gemar makan celeng, dan pemburunya sendiri tidak menyantapnya, maka mesti diragukan bahwa ini adalah celeng betulan.
Ceritanya, si pemburu mulanya berniat berburu celeng. Tetapi celeng sendiri bisa jadi adalah nitu alias makhluk halus. Mulanya mereka berwujud manusia. Ketika sampai di hutan, pemburu yang awas langsung tahu ketika melihat si manusia ini sendirian di tengah hutan sambil membasuk kotoran di kakinya.
Saat itulah si pemburu  berteriak.
“Celeng”….. tiba-tiba, wujud manusia langsung berubah jadi celeng.
Lain kali, jika si pemburu berteriak “Rusa”, maka wujud manusia itu berubah jadi rusa.
Karena kenal bahwa wujud pertama dari celeng tadi adalah manusia, maka si pemburu tentu saja tidak akan menyantap celeng tersebut. Kabarnya, celeng dari wujud manusia ini rasanya tak seenak celeng asli.
Cerita mistik lain masih ada. Kabarnya, ikan-ikan dari nelayan bisa jadi bukan ikan benar, tapi dipangil saja dari laut. Ini berlangsung ketika tangkapan nelayan sedang tidak ada. Ada nelayan yang memakai jalan pintas, yaitu dengan memanggil ikan. Dia mula-mula mengumpulkan sampah-sampah, binatang-binatang seperti kadal, cecak, dan lainnya. Lalu dengan mantra, sampah-sampah serta binatang tersebut langsung berubah menjadi ikan. Ikan itulah yang kemudian dijual.
Masih ada lainnya, banyak sekali.
Tetapi soal mistik bukalah monopoli orang kampung. Presiden AS saja kabarnya percaya mistik soal sialnya angka-13. Meskipun kepercayaan ini dapat dinilai keberadaannya dari sisi psikologis saja. Karena semua orang mempercayai hal mistik tersebut, maka dirasa sebaiknya dicegah peristiwanya untuk alas an kenyamanan.
Pernah mengacak-acak artikel, seorang akademisi pernah menyebut, bahwa certia-cerita mistik ala rakyat ini bisa jadi hanya ciptaan para penjajah untuk memecah belah. Saya pikir bisa masuk akal, karena cerita tersebut kadang merujuk pada oknum di kampung lain yang digambarkan jahat. Bisa jadi, para kolonialis menyebar cerita itu sehingga terjadi permusuhan dengan kampung lain.
Tetapi belakangan saya simpulkan pula, bahwa kita harusnya mengambil sikap lain soal kisah-kisah mistik ini. Yaitu dengan memandang cerita itu sebagai karya kreatif yang menjadi kekayaan rohani kita, bukan sebagai sebuah fakta ilmiah. Katakanlah itu sebagai sebuah karya sastra, atau dapat dibandingkan dengan karya fiksi kini semisal novel atau film. Hanya saja secara tulisan atau dalam gambar hidup, kisah-kisah ini belum sempat muncul.
Kisah-kisah ini dapat memberi ajaran dan hiburan ataupun untuk perintang waktu, sehingga punya nilai jual. Kalau dongengan-dongengan seperti “atlantis yang hilang”, atau saja kisah mitologi barat seperti Herakles, dewa thor, tarzan, dll bisa laku keras, kenapa tokoh suwanggi kita tidak?
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: