Senin, 05 November 2012

SOLE


Gambar:  zonaliper
Tari massal yang paling dikenal di Lamaholot adalah sole. Hampir setiap kegiatan hari raya kenegaraan, pesta adat, hingga perayaan keagamaan sering berakhir dengan sole. Sole dilangsungkan pada bagian penutupan. Peminatnya tentu saja tidak sedikit. Tua muda tak ketinggalan masuk arena.
Bagaimana cerita tentang sole ini?
Sempat ngobrol beramai-ramai dengan Ama Kamilus di Honihama, topik sole masuk bahan obrolan. Nih ceritanya.
Sebelum sole diadakan, para pelantun sole harus terlebih dahulu mengetahui peristiwa apa yang terjadi atau yang menjadi inti perayaan sehingga sole diadakan. Kegiatan membahasakan tentang dalam rangka apa kegiatan sole diadakan dinamakan Mula puken. Istilah populernya adalah membuka topik.
Biasanya, yang melakukan  mula puken adalah pelantun sole yang asli berasal dari kampung tersebut. Jika yang mula puken adalah orang yang berasal dari luar kampung, bisa jadi dipertanyakan apa haknya sehingga ia bisa bertindak layaknya tuan rumah. Andaikata tak ada pelantun sole yang asli dalam kampung itu, maka seorang pelantun dari luar kampung akan dimintakan untuk melakukannya, yakni bertindak melakukan mula puken.
Selain membahasakan kerangka peristiwa khusus hingga sole diadakan, para pelantun sole pun mesti tahu dulu secuil tentang sejarah kampung dan juga sebutan kampung (lewo kenelen) dimaksud. Ini akan mempengaruhi isi kalimat-kalimat yang dilantunkan dari sole tersebut. Jika pelantun dimaksud sudah cukup berpengalaman dan telah lama terlibat di kampung-kampung sekitarnya, maka akan menjadi keunggulannya karena ia tak perlu lagi mendapat informasi dimaksud tepat pada saat sole akan dilaksanakan. Ia telah tahu dalam peristiwa sebelumnya, karena lewo kenelene dan sejarah kampung sudah pasti tak berubah.
Sole cukup berbeda dengan tari hedung yang merupakan tari penjemputan atau permulaan acara. Sole merupakan tari penutup acara. Dalam sole sering dimasukkan refleksi tentang peritiwa yang dirayakan dalam bentuk syair dilengkapi nada berirama.
Sole cukup berperan penting dalam sosialisasi diri alias pergaulan muda-mudi maupun orang dewasa. Sejumlah peristiwa perayaan tidak akan seru tanpa sole di akhir kegiatan. Lantunan nada-nada dengan irama yang diikuti oleh langkah kaki akan menjadi pengalaman yang mengesankan. Gerakan sole dalam lingkaran tentu paling bisa dikuasai oleh segenap warga sehingga dapat menjadikan kekompakan di mana saja mereka berada dengan pesertanya dalam lingkup etnis bersangkutan. Peristiwa itu sering terjadi dengan bagus sekali kalau ada acara di kampung-kampung tetangga.
Menurut Pak Kamilus, sole sendiri memiliki tiga jenis berdasarkan teknis kronologis yang dilakukan para pelantunnya. Yang pertama, Tepo bolak: artinya, setiap pelantun sole mempertunjukkan kemampuan masing-masing untuk membuktikan siapa yang lebih unggul. Mereka saling menyerang hingga terbukti siapa yang lebih bisa bertahan dengan lantunan sole nya. Tak jarang dalam sole ini timbul perpecahan.
Yang kedua, tuwo tali: yaitu setiap pelantun saling melengkapi satu sama lain dalam penyusunan lirik-lirik sole sehingga menjadi lengkap. Jadi intinya adalah menyatukan.
Menurut Pankrasius, salah satu warga Honihama dan juga pelantun sole, para pelantun memiliki tujuh tingkatan kelas berdasarkan kemahiran masing-masing.
Tujuh tingkatan tersebut terdiri dari pertama, Kaha Mula Tede yang merupakan tingkatan pemula. Ama Pankras mengakui, ia kini berada pada tingkatan keempat yakni Uho Paga Lewa. Sementara tingkatan terakhir adalah “Kesa %#*& (kurang jelas tercatat). Tingkatan terakhir ini dimiliki oleh orang yang sudah sangat lama hidup dan paling berpengalaman sebagai tingkatan yang paling  sempurna.
Belum jelas bagi saya apakah dolo-dolo termasuk sole atau bukan. Ada banyak lagi istilah sole  yang sering terdengar dikatakan. Ada sole tator, liang namang, oha beoyane, lili, sole lau doan, dll.
Sementara itu, Linus Luit, seorang pelantun sole di Lamawolo desa Watobaya mengatakan, sebenarnya dalam sole hanya ada beberapa kata pokok, sementara kata lainnya ditambahkan sesuai kebutuhan irama.
Keterampilan bermain sole pun didapat dengan berguru kepada orang yang telah mahir. Ambil contoh di Lamawolo, Adonara Barat, Payong Ado bisa melantunkan sole karena belajar dari seorang pelantun sole di kampung tersebut pada saat waktu senggang di ladang. Di kampung tetangga, tempat berguru lainnya biasanya adalah di epu tuak. Di sana ada hidangan minuman penyegar menemani mereka belajar sole ini.
Belakangan, sering ada ide untuk pendirian sanggar, tetapi bentuk sanggar ini dan tatacara penyelenggaraannya masih kabur sehingga sampai kini pun nampak tak berjalan. Eh. Omong-omong, guru sole yang cukup terkenal dan sering dijadikan rujukan di kampung saya adalah Maleng, seorang Bapak dari Adonara Timur.
Kabarnya, sastra lisan seputar lamaholot kita dan mungkin termasuk sole sudah pernah didokumentasikan melalui proyek inventarisasi dari dinas pendidikan. Kurang jelas selengkap mana inventarisasi yang dilakukan tersebut. Jadi, yang tertarik boleh buat penelitian ke sana.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: