Gambar: zonaliper |
Bagaimana
cerita tentang sole ini?
Sempat ngobrol
beramai-ramai dengan Ama Kamilus di Honihama, topik sole masuk bahan obrolan. Nih ceritanya.
Sebelum sole diadakan, para pelantun sole harus terlebih dahulu mengetahui
peristiwa apa yang terjadi atau yang menjadi inti perayaan sehingga sole diadakan. Kegiatan membahasakan
tentang dalam rangka apa kegiatan sole
diadakan dinamakan Mula puken.
Istilah populernya adalah membuka topik.
Biasanya, yang
melakukan mula puken adalah pelantun sole
yang asli berasal dari kampung tersebut. Jika yang mula puken adalah orang yang berasal dari luar kampung, bisa jadi
dipertanyakan apa haknya sehingga ia bisa bertindak layaknya tuan rumah. Andaikata
tak ada pelantun sole yang asli dalam
kampung itu, maka seorang pelantun dari luar kampung akan dimintakan untuk
melakukannya, yakni bertindak melakukan mula
puken.
Selain
membahasakan kerangka peristiwa khusus hingga sole diadakan, para pelantun sole
pun mesti tahu dulu secuil tentang sejarah kampung dan juga sebutan kampung (lewo kenelen) dimaksud. Ini akan mempengaruhi
isi kalimat-kalimat yang dilantunkan dari sole
tersebut. Jika pelantun dimaksud sudah cukup berpengalaman dan telah lama
terlibat di kampung-kampung sekitarnya, maka akan menjadi keunggulannya karena
ia tak perlu lagi mendapat informasi dimaksud tepat pada saat sole akan dilaksanakan. Ia telah tahu
dalam peristiwa sebelumnya, karena lewo
kenelene dan sejarah kampung sudah pasti tak berubah.
Sole
cukup berbeda dengan tari hedung yang
merupakan tari penjemputan atau permulaan acara. Sole merupakan tari penutup acara. Dalam sole sering dimasukkan refleksi tentang peritiwa yang dirayakan
dalam bentuk syair dilengkapi nada berirama.
Sole
cukup berperan penting dalam sosialisasi diri alias pergaulan muda-mudi maupun
orang dewasa. Sejumlah peristiwa perayaan tidak akan seru tanpa sole di akhir kegiatan. Lantunan
nada-nada dengan irama yang diikuti oleh langkah kaki akan menjadi pengalaman
yang mengesankan. Gerakan sole dalam
lingkaran tentu paling bisa dikuasai oleh segenap warga sehingga dapat
menjadikan kekompakan di mana saja mereka berada dengan pesertanya dalam
lingkup etnis bersangkutan. Peristiwa itu sering terjadi dengan bagus sekali
kalau ada acara di kampung-kampung tetangga.
Menurut Pak
Kamilus, sole sendiri memiliki tiga
jenis berdasarkan teknis kronologis yang dilakukan para pelantunnya. Yang
pertama, Tepo bolak: artinya, setiap
pelantun sole mempertunjukkan
kemampuan masing-masing untuk membuktikan siapa yang lebih unggul. Mereka
saling menyerang hingga terbukti siapa yang lebih bisa bertahan dengan lantunan
sole nya. Tak jarang dalam sole ini timbul perpecahan.
Yang kedua, tuwo tali: yaitu setiap pelantun saling
melengkapi satu sama lain dalam penyusunan lirik-lirik sole sehingga menjadi lengkap. Jadi intinya adalah menyatukan.
Menurut
Pankrasius, salah satu warga Honihama dan juga pelantun sole, para pelantun memiliki tujuh tingkatan kelas berdasarkan
kemahiran masing-masing.
Tujuh
tingkatan tersebut terdiri dari pertama, Kaha
Mula Tede yang merupakan tingkatan pemula. Ama Pankras mengakui, ia kini
berada pada tingkatan keempat yakni Uho
Paga Lewa. Sementara tingkatan terakhir adalah “Kesa %#*& (kurang jelas tercatat). Tingkatan terakhir ini
dimiliki oleh orang yang sudah sangat lama hidup dan paling berpengalaman
sebagai tingkatan yang paling sempurna.
Belum jelas
bagi saya apakah dolo-dolo termasuk sole atau bukan. Ada banyak lagi istilah
sole yang sering terdengar dikatakan. Ada sole tator, liang namang, oha beoyane, lili,
sole lau doan, dll.
Sementara itu,
Linus Luit, seorang pelantun sole di
Lamawolo desa Watobaya mengatakan, sebenarnya dalam sole hanya ada beberapa kata pokok, sementara kata lainnya
ditambahkan sesuai kebutuhan irama.
Keterampilan
bermain sole pun didapat dengan
berguru kepada orang yang telah mahir. Ambil contoh di Lamawolo, Adonara Barat,
Payong Ado bisa melantunkan sole
karena belajar dari seorang pelantun sole
di kampung tersebut pada saat waktu senggang di ladang. Di kampung tetangga,
tempat berguru lainnya biasanya adalah di epu
tuak. Di sana ada hidangan minuman penyegar menemani mereka belajar sole ini.
Belakangan,
sering ada ide untuk pendirian sanggar, tetapi bentuk sanggar ini dan tatacara
penyelenggaraannya masih kabur sehingga sampai kini pun nampak tak berjalan. Eh.
Omong-omong, guru sole yang cukup
terkenal dan sering dijadikan rujukan di kampung saya adalah Maleng, seorang
Bapak dari Adonara Timur.
Kabarnya, sastra lisan seputar lamaholot
kita dan mungkin termasuk sole sudah pernah didokumentasikan melalui proyek
inventarisasi dari dinas pendidikan. Kurang jelas selengkap mana inventarisasi
yang dilakukan tersebut. Jadi, yang tertarik boleh buat penelitian ke sana.