Apa Even seru di hari kemerdekaan RI yang khas remaja dan pemuda? Yup, mendaki gunung! Menantang dan medebarkan, apalagi bagi yang belum pernah melakukannya.
Di Adonara, rencana pendakian mula-mula saya dengar dari ajakan kawan-kawan pada situs pertemanan di web. Pemberitahuan menyebut adanya tiga lokasi start bagi para pendaki di sekeliling Gunung Ile Boleng, salah satunya adalah dari Desa Muda.
Di daftar kontak kebetulan saya temui peserta yang memilih berangkat dari
desa ini. Jalur pendakian yang ini
kabarnya merupakan jalur pendakian yang lebih landai. Lokasi desa pun lebih
dekat ke puncak. Karena itu, saya memilih bergabung dari sana!
Dari titik start
Dari Desa Muda, pendakian akan dikoordinir oleh
pemuda-pemuda setempat. Mereka menyiapkan tenda, bendera, dan tiang untuk pengibaran. Untuk peserta,
masing-masing menyiapkan alat penerangan, bekal, dan pelindung tubuh dari suhu
dingin. Warga setempat selaku tuan rumah sekaligus pemandu pun kebagian tugas
menyiapkan tambahan barang berupa alat potong yang mungkin sesekali dibutuhkan.
Sementara itu, tongkat untuk pendakian dapat dipungut saja oleh peserta di
sepanjang perjalanan nanti.
Balai Desa tempat kami berkumpul malam itu mendadak ramai. Ketika
saya tiba, sebagaian peserta telah bersiap-siap di sana dengan perlengkapan
masing-masing. Mereka datang dengan kendaraan roda dua dan sebagiannya dengan
roda empat. Oleh koordinator, para pemilik kendaraan roda dua diarahkan untuk
parkir di tempat aman, yakni di sekitar parkiran Gereja Muda, tak jauh dari tempat
berkumpul.
Pendakian rencananya akan dimulai tepat jam 22.00,
berlangsung malam. Kami memang telah diminta untuk datang sebelum jam tersebut.
Aktivitas di malam hari ternyata lebih diinginkan oleh peserta. Dengan adanya
suhu dingin, kami bisa mencegah peningkatan panas tubuh berlebih yang
mengganggu kenyamanan. Selain itu, juga untuk menghindari kelelahan jika harus
melakukan kegiatan itu selama dua belas jam pada siang hari. Ada pula keinginan lainnya. Dengan perkiraan
bahwa kami tiba di puncak pada dini hari, kami dapat menyaksikan sunrise.
Lewat pukul sepuluh, acara pembukaan dimulai. Cukup telat
dari jadwal seharusnya. Ina Nela yang didaulat sebagai MC pun memandu acara. Mula-mula,
suasana jadi cair dengan mengajak peserta memperkenalkan diri. Bagian yang
penting buat saya, karena peserta semuanya tampak asing! Di tempat itu, saya
hanya pernah mengenal tiga peserta sebelumnya. Perkenalan pun dilanjutkan
dengan pengambilan presensi. Dalam daftar hadir, tercatat tiga puluh lima
peserta yang siap berangkat.
Selanjutnya, Ama Muhammad Isa Kadar alias Ama Marko diberi
kesempatan untuk menyampaikan gambaran secara kronologis tentang kegiatan
pendakian ini.
Menurut penyampaiannya, pendakian akan berlangsung selama
lima jam. Perinciannya, dari balai desa ke pos pertama hingga kedua berlangsung
selama dua jam. Selanjutnya dari pos kedua ke pos ketiga hingga tapal kuda akan
berlangsung pula dengan waktu yang sama. Terakhir, dari tapal kuda ke puncak berlangsung
selama satu jam. Pengibaran bendera akan kami lakukan ketika tiba di puncak. Perkiraan
tersebut diambil dengan memperhitungkan kecepatan pendakian yang paling lambat,
karena dalam kelompok pendaki terdapat sejumlah pemudi.
Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan, antara lain tentang larangan-larangan
yang mesti ditaati peserta dalam pendakian ini. Disampaikan bahwa peserta tidak
boleh membawa air dari puncak. Peserta pun tidak diperbolehkan meninggalkan
sampah dari sisa-sisa kegiatan masing-masing, sekalian diingatkan berhati-hati
terhadap aktivitas yang menggunakan api. Memang, sering terjadi kebakaran di
lokasi pendakian ini.
Dari peserta pun diberi kesempatan berbicara. Masuk satu usulan
bahwa karena kecepatan pendakian masing-masing berbeda, mesti ada koordinasi
supaya peserta yang paling belakang dan yang di depan jangan sampai terpisah.
Acara dilanjutkan dengan sambutan dari bapak Kepala Desa
Muda. Menurut beliau, sekalian pendaki pada malam itu datang dan berkumpul di
wilayah desa mereka. Oleh karena itu, mereka mau tidak mau harus menerima
kedatangan kami sebagai tamu. Ia pun memberikan gambaran bahwa peseta akan
menemui ngarai, jurang, dan lereng, jadi tak mudah untuk melewatinya. Harapannya,
semua orang mengutamakan keselamatan.
Para pemuda juga diingatkan untuk tidak mengganggu
ketenangan warga yang sedang tenang beristirahat malam. Selanjutnya, ia meminta
maaf karena pada saat kepulangan pada esok hari akan berlangsung paket acara
tujuh belasan di tempat lain, maka warga tidak berada di
tempat saat para pemuda ini tiba dari puncak. Untuk menemani para tetamu di
desanya, Bapak Kepala Desa juga menyertakan satu orang sebagai pemandu, yaitu
Ama Mige Raya.
Tepat jam 11.00, acara pembukaan usai. Peserta pun
meninggalkan balai desa dalam barisan panjang.
Sepanjang Pendakian
…… terlalu tinggi buat kami daki di terik siang…..terlalu dalam
buat kami turuni di malam gelap….. begitu potongan syair sebuah lagu dari korps
infantri dengan nada mars. Lagu yang juga dimodifikasi oleh anak-anak pramuka
dan dinyanyikan para pelajar sekolah. Tapi pendakian kini bertentangan dengan
isi lagu. Pendakian kami lakukan malam.
Meski berlangsung malam, kami tak lantas melewatkan begitu
saja pemandangan sepanjang perjalanan. Teramati bahwa dari perkampungan hingga
pos pertama terdapat kebun penduduk. Kebun ditanami kelapa, jambu mente, ubi
kayu, dan lainnya dengan didominasi oleh pohon kelapa. Dari perkampungan menuju
ke arah gunung, telah dibuat jalan tani dari semen selebar kendaraan truk
sebagai akses menuju ke perkebunan. Jalan yang selalu menanjak itu jaraknya
sekitar satu kilometer.
Tiba di pos pertama, kami berhenti sesuai ajakan pemandu. Di
situ pengambilan presensi terjadi untuk yang kedua kalinya. Ini dilakukan
karena telah ada tambahan peserta sepanjang perjalanan dari balai desa, yaitu
peserta yang beristirahat di rumah-rumah penduduk setempat. Total peserta kini terhitung
sebanyak empat puluh enam orang. Lima di antaranya adalah para pemudi.
Di perjalanan kemudian, peserta terdepan pun harus menunggu
supaya peserta paling belakang bisa menyusul supaya kelompok tak saling
terpecah. Barisan terakhir ini termasuk pula para pemudi yang tak bisa bergerak
cepat. Dengan lesehan di bawah pohon kelapa, kami cukup lama menunggu dengan
sabar hingga peserta yang paling belakang tiba.
Sejak pos kedua, tanaman kelapa tak lagi dijumpai. Begitu
pula, jalan semen hanya berhenti beberapa jauh sebelum pos pertama, dilanjutkan
dengan jalan setapak dengan semak-semak di tepiannya. Diselimuti gelapnya
malam, terlihat dalam barisan dari belakang hingga jauh di depan sana berkas-berkas cahaya lampu senter
menemani langkah para pendaki menaiki tanjakan demi tanjakan. Barisan memanjang
seperti ular, tetapi maju dengan lambat. Peserta tak bisa berjalan berjajar
sebab jalan setapak ini tak cukup lebar. Di sebagian perjalanan, langkah kaki
pun harus dibantu tongkat.
Kami tiba di pos
ketiga tepat setelah dua jam perjalanan dari titik start, jauh lebih cepat dari
yang diperkirakan. Perhentian di sana kami lakukan selama dua jam. Ini
peristirahatan yang terlama dibandingkan dengan di pos lainnya.
Pos ketiga adalah sebuah bangunan lumbung. Lokasinya ada di
lebih dari pertengahan jarak pada perjalanan menanjak ini. Kami heran karena
petani setempat bisa mendaki begitu tinggi dengan membawa bahan bangunan berupa
kayu dan seng untuk membangun pondok.
Pada perhentian ini, sebagian pemuda pun tampak memanfaatkan
kesempatan dengan berbaring. Kami pun untuk pertama kalinya diperkenankan menyantap
bekal. Sejumlah orang yang membawa ubi dan pisang pun membakar bawaan mereka
dengan kayu yang dikumpulkan. Sik asiiik, ada camilan yang rasanya seperti
rendang. Eh ternyata, ada peserta yang beberapa hari sebelumnya baru tiba dari
Padang.
Setelah perut terisi dan cukup melepas lelah, kami kemudian
melanjutkan kembali pendakian. Selepas pos terakhir ini, hanya ada satu jenis pepohonan
yang mendominasi. Tumbuhan lainnya hanya belukar dan semak rendah, juga
alang-alang. Lalu, sekitar dua ratus meter dari sana, tak ada lagi pepohonan. Hanya
ada tanggul-tanggul pepohonan mati yang tampak
mengering. Sebagian lainnya berupa batang-batangnya yang menghitam, lengkap
dengan dahan-dahannya yang seperti tegak menyangga langit.
Meski sudah sangat jauh dari pemukiman, ternyata masih kami
temui satu bekas kegiatan penggergajian pohon kering di tengah-tengah jalur yang
kami lalui ini. Sementara di sebelah kiri kami, sering tampak berkas api
membara dengan latar langit gelap. Sesekali api tampak menyala. Tiupan angin
memang telah menyebabkan api tersebut makin mudah merambat.
Kondisi jalan kini pun makin bervariasi. Kadang jalan tampak
padat sehingga stabil untuk pijakan kaki. Di etape lainnya, jalan terdiri dari
tanah yang tidak stabil, yaitu kerikil yang mudah lepas. Ini adalah resiko utama, yaitu bisa saja peserta
tergelincir. Resiko lainnya adalah bebatuan yang mudah terjungkit dari
posisinya. Jadi, yang di depan mesti hati-hati supaya tidak menyebabkan batu
menimpa peserta yang di belakang.
Sampe seni tawa gere
“Seni tawa gere. Tahu apa itu?” satu pertanyaan terlontar
dari peserta di barisan dekat kami.
“Yah, itu kan lagu. Sampe lera gere…. “ jawab peserta lain,
yang memang lahir dan besar di tanah seberang.
“ Coba lihat ke depan anda. Ada bintang di sana”, jelasnya.
Seperti sambil bawakan kuliah nih hehe, “yang tampak paling terang itu namanya
seni tawa gere”, katanya lagi.
Sebenarnya, itu bukan bintang beneran. Tampak bersinar
paling terang, benda langit itu lebih tepatnya adalah sebuah planet, planet Venus.
Sering disebut bintang fajar, di Eropa dipuja sebagai dewi kecantikan. Orang Lamaholot
menyebutnya seni tawa gere. Yah, kami tiba di tapal kuda dengan pertanda bahwa
kami akan menuju fajar.
Suhu terasa makin dingin menggigit. Sebuah kelompok lantas berhenti
beberapa ratus meter sebelum tapal kuda, lalu memasang api dan berdiang. Sementara
kami yang lain terus berpacu menuju tapal kuda. Jelang pukul dua dini hari,
kami tiba di sana. Pemandu menghentikan perjalanan, karena pendakian setelah
itu melewati medan berbahaya. Menurutnya, pendakian yang aman hanya dapat
dilakukan apabila ada penerangan yang cukup, yaitu ketika matahari telah terbit.
Jadi, peserta pun melepas bawaan masing-masing dan
berkumpul. Sebagiannya menyalakan api unggun. Api dinyalakan dengan kayu dan
dedaunan kering yang sempat dipungut sepanjang perjalanan tadi. Peserta lain
mengisi waktu dengan mengobrol sekeliling api. Yang kelelahan pun memulihkan
tenaga dengan berbaring.
Agak lama tak berdiang dekat api, dinginnya suhu makin
terasa sampai ke dalam tulang. Jari-jari tangan sulit digerakkan untuk
menggenggam. Lutut terasa enggan untuk ditekuk, sehingga langkah kaki pun jadi
kaku. Cairan pelumas sendi barangkali membeku di dalam sana oleh suhu dingin
ini. Beruntunglah bagi sebagian peserta yang lengkap mengenakan kaus tangan dan
pakaian tebal.
Sementara mengobrol, sesekali terdengar bunyi semak terbakar
pada jarak dekat. Ternyata asalnya di bawah kami dari arah barat. Tampak saat
itu bekas puntung daun yang menghitam diterbangkan angin ke mana-mana.
Tapal kuda sendiri lokasinya hampir ke dekat puncak. Letaknya
sudah persis di tepi kawah, tetapi puncak sendiri masih terletak lebih tinggi
lagi. Kawah memang bukan merupakan area tertinggi dari gunung ini.
Dari sana, kami boleh bebas melepas pandangan menembus
gelap. Ada dua sumber cahaya yang berkelap kelip di hadapan kami. Bintang yang
menyala di atas sana, dan lampu dari pemukiman penduduk di bawah. Jika
tiba-tiba muncul kabut, maka sejenak hanya kegelapanlah yang ada. Cahaya lampu
di bawah kami jadi meredup dan hilang di balik kabut yang menutup. Di kanan
kami, jika membelakangi kawah utama, tampak samar-samar pemandangan menyajikan
dataran seputar Witihama. Sementara itu, di kiri kami hanya tampak warna kelam.
Ketika beranjak siang, ternyata tampak bagian ini tertutup awan, sehingga
menghalangi pemandangan ke sana.
Saat mulai terang, tampak bebatuan di puncak yang berwarna
putih. Batu-batu itu terlihat basah oleh embun pagi. Sayangnya, benda kreasi
alam itu kini penuh bekas-bekas vandalisme. ‘Buku tamu’, begitu kami menyebut
batu yang penuh warna-warni tulisan dari
cat. Tentu saja ini mengganggu keindahan. Andaikata ‘buku tamu’ itu dilokalisir
di suatu tempat, di mana setiap pendaki menulis nama mereka di sana, alangkah
baiknya itu. Atau lebih kreatif lagi, pendaki boleh menulis kisah perjalanan mereka,
yang nantinya bisa dibaca kemudian.
Di situ pun banyak terdapat tanaman endemik khas pegunungan,
yaitu bunga edelweys. Tumbuhan yang hanya tumbuh di pegunungan ini tak pernah
layu bunganya. Ada pula tumbuhan pakis yang ukurannya sangat besar. Sayangnya,
tidak ada dokumentasi foto yang kami lakukan untuk tetumbuhan terakhir ini.
Sementara itu, di bawah kami, tampak jelas lapisan awan yang
menutupi perkampungan. Letaknya di arah barat. Gugusan awan itu menutup sampai
ke Bukit Seburi, sehingga menghalangi pemandangan ke bagian barat Adonara.
Kami pun menunggu sunrise. Saat yang dinanti-nantikan
sebagian besar peserta. Tepat ketika matahari seinci demi seinci muncul di
hadapan, peserta merekam momen itu dengan peralatan kamera yang dibawa. Setelah
foto-foto dengan aneka pose, kami pun lalu diperkenankan sarapan dengan bekal
yang tersisa.
Di tapal kuda, total kami berhenti selama sekitar empat jam
sejak malam sebelumnya. Pendakian pun mesti kami mulai lagi. Tapal kuda
berlokasi di tepi mulut kawah. Jadi, perjalanan kami lanjutkan dengan menyisir
tepian kawah ke arah timur, yaitu memutar ke kiri. Awal perjalanan itu dimulai
dengan jalur yang menurun. Jalan setapak ini tepat berada di punggung teratas
yang genting dari tepian lubang menganga itu. Di kanan kami, kawah besar menghadap
langit, sementara di kiri kami ada lereng yang miring hingga ke kaki gunung. Jadi,
perjalanan harus kami lakukan dengan hati-hati.
Jika anda berteriak, suara pantulannya terdengar sangat
jelas di dinding tebing yang keras itu. Selain tersusun dari batuan pejal yang
stabil, kawah juga terdiri dari batu-batu yang tampak tidak stabil. Ini tentu
menyulitkan siapapun yang menuruni kawah, karena batu itu beresiko mudah
runtuh.
Dari jauh, medan yang akan kami lalui kelihatan sangat
berbahaya. Tetapi ternyata itu hanya karena tipuan mata. Tahu mekanime tipuan
ini? Coba ingat ketika bulan tampak lebih besar jika terbit dari balik bukit,
padahal ukurannya sama saja. Ini tipuan yang sejenis. Karena jarak pandang yang
begitu leluasa, jarak yang sebenarnya jauh itu dikira dekat saja. Karena itu,
punggung bukit yang cukup lebar dikira sempit.
Tipuan ini seolah menyurutkan keberanian sebagian peserta untuk
lewat di atasnya. Tetapi peserta yang gentar ini muncul lagi keberanian mereka,
karena para pemudi tampak mampu melewati tantangan ini.
“Para gadis saja mudah melakukannya, masakan kita tidak?”
begitu komentar mereka yang sempat terdengar. Tebing kawah di sisi berlawanan memang tampak mendirikan
bulu kuduk, karena kelihatan hampir tegak lurus hingga ke dasar kawah. Katanya,
menyusuri kawah ada tantangannya tersendiri dan tidak semua orang bisa.
Sejumlah peserta kabarnya beringsut dengan hati-hati di punggung gunung. Dari
sisi anda sendiri, tebing memang tidak tampak menakutkan, karena terkesan
rendah saja, tetapi dari sisi yang berlawanan, dinding terjal itu tampak sangat
jelas. Dari cerita, beberapa peserta pernah menuruni sampai ke dasar itu.
Ternyata di dalam mulut kawah terdapat tanggul pohon yang masih
tersisa. Berarti, kawah gunung itu pun pernah menjadi habitat tumbuhan
tersebut. Teringat tayangan National Geographic bahwa di pegunungan, pepohonan mengambil
air dari kabut, bukan dari akar. Di masa lalu pun barangkali terdapat periode
istirahat vulkanik yang cukup panjang, sehingga bisa terjadi suksesi ekosistem
tumbuhan hingga mencapai taraf itu. Konon
kayu pohon ini sangat keras. Memang, tampak batangnya tak tersentuh sama
sekali oleh rayap.
Di punggung pendakian selepas tapal kuda, terdapat medan
yang tersulit di jalur ini. Dinding tebing yang dipanjat memang bersatu dengan
dinding kawah. Kontur pendakian ini cukup curam, tetapi memudahkan karena
terdiri dari bebatuan yang stabil, sehingga pijakan kami mantap dan tak
tergelincir. Di lokasi ini, jangan menatap langit saat memanjat, sebab
terkadang awan yang tampak melintas bisa menyebabkan pusing karena bebatuan
gunung seperti tampak sedang bergeser. Kesan ini sama dengan ketika anda di
dalam kendaraan dan benda-benda di tepi jalan kelihatan bergerak, bukan
kendaraannya sendiri. Apalagi awan terlihat sangat dekat di sisi kepala kita.
Di ujung pendakian tersulit itu, kami temui sebuah lapangan
luas. Letaknya sudah makin dekat dengan puncak tertinggi. Tepi lapangan itu pun
langsung berbatasan dengan mulut kawah. Kelompok berhenti di sana dan
beristirahat. Lalu mengabarkan keberadaan mereka ke penduduk desa di bawah
dengan member tanda lewat bendera dan memantulkan cahaya matahari dari cermin. Dari
desa-desa di bawah kami, sering tampak kilatan pantulan cahaya yang kami duga
sebagai penduduk yang juga menunjukkan posisi mereka.
Untuk mengirim pesan, memang kini telah ada ponsel dan ada
pula jangkauan sinyal selular. Tapi kalau tak ada fasilitas ini, barangkali
bendera semaphore atau morse akan sangat berguna. Yah, bagaimana bisa mengirim
berita kepada teman di bagian punggung gunung yang lain? Meski tampak dekat
saja, tetapi ini jarak yang jauh ini
menyulitkan untuk bisa saling mengirim pesan dengan mengandalkan jarak jelajah
dari suara manusia.
Dari arah barat lapangan, kita bisa melihat desa Sagu yang
tampak jelas di bagian utara pulau. Kampung ini ada di tepi pantai dan
merupakan kota pelabuhan yang ramai di masa lalu sebelum Waiwerang
menggantikannya di bagian timur pulau. Sementara bagian barat sayangnya tertutup
awan sehingga Bukit Seburi tampak tak terlihat. Hanya desa Lite yang terbuka pemandangannya. Desa
yang tampak paling besar di bawah sana adalah Witihama, sedangkan kampung
terdekat adalah Wato Lolon. Di ujung barat, pulau Flores pun tampak anggun dengan
Ile Mandirinya.
Laut seperti dekat di bawah kami, karena pemandangan begitu
terbuka ke sana. Tampak gunung lewotolok di pulau lembata di sebelah. Perairan
seperti kaca biru di bawah kami, berbatasan dengan langit biru di atas.
Ada Penghuninya
Di puncak pas, sempat terlihat kemunculan binatang kuda. Mereka
muncul dalam tiga kelompok, masing-masing dengan enam, tujuh, dan sembilan
ekor. Dari penampilan fisik mereka yang tampak jauh berbeda, ketiga kelompok
ini bukanlah hewan yang sama, sehingga kami menduga kuda yang muncul hari itu jumlahnya
sebanyak dua puluh dua ekor. Tampak banyak tanda-tanda aktivitas binatang ini
di lapangan, yaitu bekas-bekas tapak kaki. Di sekitar puncak pas pun terdapat
banyak jejak-jejak jalan serupa jalan setapak. Sebagian besarnya terbentuk dari
jejak-jejak binatang kuda yang menjadi penghuninya. Juga kambing liar yang
kehadirannya kami ketahui dari adanya kotoran mereka. Kambing-kambing ini
merumput di sana, dan kabarnya boleh bebas diburu.
Di lapangan maupun di puncak, rerumputan tampak kering.
Barangkali pemandangan itu akan berbeda di musim hujan. Apa pada musim itu padang
rumput terdapat tanaman yang berbunga? Atau ada bentangan permadani hijau di
sana? Entahlah.
Perjalanan Pulang
Kekeliruan dalam mengkoordinir aktivitas peserta menyebabkan
acara menaikkan bendera jadi tak pasti. Ini terjadi karena kelompok terpecah-pecah
dan berjauhan satu sama lain, dan rencana lokasi pengibaran pun tidak
dipastikan dengan baik. Sebagian peserta ada di puncak pas, yaitu titik
tertinggi gunung, sebagian lainnya ada di lapangan, bahkan beberapa darinya
memilih lebih dulu turun karena kelelahan. Jadi, peristiwa pengibaran hanya
diikuti oleh sebagian kecil peserta.
Selain kelompok kami, masih ada dua kelompok pendaki lagi.
Ada sejumlah peserta yang berangkat dari
Lamabayung dan Lamalaka. Mereka datang dari sisi timur gunung. Untuk
yang mendaki dari sana, mereka langsung ke puncak pas, tanpa lewat kawah lagi. Sebagian
dari mereka adalah pria-pria yang membawa tombak dan anjing pemburu.
Barangkali, mereka akan berburu kambing liar di gunung. Tetapi kemunculan kami
dari malam sebelumnya barangkali menuyebabkan binatang itu telah menyingkir
duluan karena sadar akan kehadiran musuh mereka.
Dari cerita para pendaki sebelumnya, jalur pendakian dari
timur ini barangkali lebih curam, yaitu bermula dari Lamahelan atas. Di sisi
itu, sejumlah perkampungan tampak
berdiri berpasangan. Ada kampung atas dan ada kampung bawah sebagai kampung
satelit. Kampung bawah dibangun dekat jalan raya, sementara kampung atas adalah
kampung induk. Tampak jelas jalur jalan yang menghubungkan masing-masing
kampung ini terlihat dari bagian timur gunung.
Kami lalu sempat ke puncak pas, di mana terdapat pilar yang
menunjukkan ketinggian gunung. Pada patok dari semen yang dibuat tepat di titik
tertinggi, tertulis angka elevasi titik ini.
Sebuah kelompok kecil yang merupakan pecahan dari kelompok
kami ternyata menuju mata air.Sangat disayangkan bahwa tidak semua kami menuju
kawah yang ada mata airnya itu, yang letaknya menurun ke arah timur. Air di
puncak itu tampak kehitam-hitaman, kurang jelas apa itu warna mineral atau
warna organik. Air itu terasa segar, dan lebih dingin dari air yang kami bawa.
Dari puncak pas, kami memutar ke sisi timur, lalu kembali
lagi ke barat melingkari kawah menuju kemoti. Kemoti adalah tempat dengan sebuah
formasi berbentuk permainan congklak. Memang jadi misteri sendiri kenapa salah
satu wujud kebudayaan manusia bisa berada di puncak gunung, tertanam di dalam
batu. Di sisi itu pula terdapat sebuah lubang yang katanya terdapat gas
belerang. Letak lubang itu tidak tepat berada di jalur pendakian, sehingga
peserta mesti meninggalkan barisan untuk menuju ke sana.
Topografi puncak dapat terlihat jelas jika gunung tak
tertutup awan dan terlihat dari arah timur, misalnya dari kota Waiwerang. Tapal
kuda bisa anda lihat dari lereng kiri. Lembah pertama yang tampak, yaitu ada
turunan, di situlah tapal kuda. Setelah tapal kuda, ada tanjakan yang berakhir
di titik tertinggi. Setelah itu ada lembah lagi di bagian barat, satu pendakian
lagi ke kanannya, dan berakhir di lereng. Kawah terbesar adalah kawah utama
yang merupakan hasil bentukan dari letusan terakhir, dan hanya terlihat jelas
dari arah barat.
Mengitari kawah satu putaran penuh, kami tiba kembali di
tempat peristirahatan pada malam sebelumnya. Di situ, kami menunggu hingga
peserta paling akhir tiba. Sejumlah kelompok kecil lain tampak naik belakangan,
yaitu setelah siang. Mereka tiba jelang tengah
hari. Jadi menghitung lama perjalanan mereka jika mereka berangkat
selepas jam enam pagi, barangkali perjalanan mereka memakan waktu lima jam.
Itulah perhitungan waktu yang serupa dengan yang dipakai ama Marko.
Di perjaanan pulang, kelompok kami jadi terpecah-pecah
karena kecepatan tempuh yang berbeda-beda. Kabarnya, salah satu kelompok nyasar
menuju jalan ke Lamalota. Jadi peserta yang di depan menunjuk jalan dengan memberi
tanda di pepohonan dan dedaunan. Kami pun bisa terbantu dengan mengingat
melihat jejak serta lokasi yang kami lalui semalam.
Di akhir perjalanan itu, tenaga kami sempat dipulihkan
dengan mencicipi buah kelapa, pepaya, dan juga disuguhi minuman penyegar dari
mayang kelapa.
Di kelompok kami, ada sejumlah peserta yang datang dari
Flores daratan. Mereka mengatakan jika ada agenda pendakian Ile Mandiri, mereka
siap menjadi tuan rumah. Tertarik? Mari coba mencintai alam.
Melihat keberanian gadis-gadis di film Vertical Limit, para
penyelam di film Sanctum, atau membaca kisah para penyeberang gurun Australia,
barangkali kita bisa jadi lebih berani. Tetapi persiapan matang adalah hal yang
perlu. (Simpet Soge)