Jumat, 09 November 2012

Menuju ke Balik Awan (Pendakian Ile Boleng, 17 Agustus 2012)



Apa Even seru di hari kemerdekaan RI yang khas remaja dan pemuda? Yup, mendaki gunung! Menantang dan medebarkan, apalagi bagi yang belum pernah melakukannya. 
Di Adonara, rencana pendakian mula-mula saya dengar dari ajakan kawan-kawan pada situs pertemanan di web. Pemberitahuan menyebut adanya tiga lokasi start bagi para pendaki di sekeliling Gunung Ile Boleng, salah satunya adalah dari Desa Muda.
Di daftar kontak kebetulan saya temui peserta yang memilih berangkat dari desa ini. Jalur pendakian yang ini kabarnya merupakan jalur pendakian yang lebih landai. Lokasi desa pun lebih dekat ke puncak. Karena itu, saya memilih bergabung dari sana!
Dari titik start
Dari Desa Muda, pendakian akan dikoordinir oleh pemuda-pemuda setempat. Mereka menyiapkan tenda, bendera, dan  tiang untuk pengibaran. Untuk peserta, masing-masing menyiapkan alat penerangan, bekal, dan pelindung tubuh dari suhu dingin. Warga setempat selaku tuan rumah sekaligus pemandu pun kebagian tugas menyiapkan tambahan barang berupa alat potong yang mungkin sesekali dibutuhkan. Sementara itu, tongkat untuk pendakian dapat dipungut saja oleh peserta di sepanjang perjalanan nanti.
Balai Desa tempat kami berkumpul malam itu mendadak ramai. Ketika saya tiba, sebagaian peserta telah bersiap-siap di sana dengan perlengkapan masing-masing. Mereka datang dengan kendaraan roda dua dan sebagiannya dengan roda empat. Oleh koordinator, para pemilik kendaraan roda dua diarahkan untuk parkir di tempat aman, yakni di sekitar parkiran Gereja Muda, tak jauh dari tempat berkumpul.
Pendakian rencananya akan dimulai tepat jam 22.00, berlangsung malam. Kami memang telah diminta untuk datang sebelum jam tersebut. Aktivitas di malam hari ternyata lebih diinginkan oleh peserta. Dengan adanya suhu dingin, kami bisa mencegah peningkatan panas tubuh berlebih yang mengganggu kenyamanan. Selain itu, juga untuk menghindari kelelahan jika harus melakukan kegiatan itu selama dua belas jam pada siang hari. Ada  pula keinginan lainnya. Dengan perkiraan bahwa kami tiba di puncak pada dini hari, kami dapat menyaksikan sunrise.
Lewat pukul sepuluh, acara pembukaan dimulai. Cukup telat dari jadwal seharusnya. Ina Nela yang didaulat sebagai MC pun memandu acara. Mula-mula, suasana jadi cair dengan mengajak peserta memperkenalkan diri. Bagian yang penting buat saya, karena peserta semuanya tampak asing! Di tempat itu, saya hanya pernah mengenal tiga peserta sebelumnya. Perkenalan pun dilanjutkan dengan pengambilan presensi. Dalam daftar hadir, tercatat tiga puluh lima peserta yang siap berangkat.
Selanjutnya, Ama Muhammad Isa Kadar alias Ama Marko diberi kesempatan untuk menyampaikan gambaran secara kronologis tentang kegiatan pendakian ini.
Menurut penyampaiannya, pendakian akan berlangsung selama lima jam. Perinciannya, dari balai desa ke pos pertama hingga kedua berlangsung selama dua jam. Selanjutnya dari pos kedua ke pos ketiga hingga tapal kuda akan berlangsung pula dengan waktu yang sama. Terakhir, dari tapal kuda ke puncak berlangsung selama satu jam. Pengibaran bendera akan kami lakukan ketika tiba di puncak. Perkiraan tersebut diambil dengan memperhitungkan kecepatan pendakian yang paling lambat, karena dalam kelompok pendaki terdapat sejumlah pemudi.
Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan, antara lain tentang larangan-larangan yang mesti ditaati peserta dalam pendakian ini. Disampaikan bahwa peserta tidak boleh membawa air dari puncak. Peserta pun tidak diperbolehkan meninggalkan sampah dari sisa-sisa kegiatan masing-masing, sekalian diingatkan berhati-hati terhadap aktivitas yang menggunakan api. Memang, sering terjadi kebakaran di lokasi pendakian ini.
Dari peserta pun diberi kesempatan berbicara. Masuk satu usulan bahwa karena kecepatan pendakian masing-masing berbeda, mesti ada koordinasi supaya peserta yang paling belakang dan yang di depan jangan sampai terpisah.
Acara dilanjutkan dengan sambutan dari bapak Kepala Desa Muda. Menurut beliau, sekalian pendaki pada malam itu datang dan berkumpul di wilayah desa mereka. Oleh karena itu, mereka mau tidak mau harus menerima kedatangan kami sebagai tamu. Ia pun memberikan gambaran bahwa peseta akan menemui ngarai, jurang, dan lereng, jadi tak mudah untuk melewatinya. Harapannya, semua orang mengutamakan keselamatan.
Para pemuda juga diingatkan untuk tidak mengganggu ketenangan warga yang sedang tenang beristirahat malam. Selanjutnya, ia meminta maaf karena pada saat kepulangan pada esok hari akan berlangsung paket acara tujuh belasan di tempat lain, maka warga tidak berada di tempat saat para pemuda ini tiba dari puncak. Untuk menemani para tetamu di desanya, Bapak Kepala Desa juga menyertakan satu orang sebagai pemandu, yaitu Ama Mige Raya.
Tepat jam 11.00, acara pembukaan usai. Peserta pun meninggalkan balai desa dalam barisan panjang.

Sepanjang Pendakian
…… terlalu tinggi buat kami daki di terik siang…..terlalu dalam buat kami turuni di malam gelap….. begitu potongan syair sebuah lagu dari korps infantri dengan nada mars. Lagu yang juga dimodifikasi oleh anak-anak pramuka dan dinyanyikan para pelajar sekolah. Tapi pendakian kini bertentangan dengan isi lagu. Pendakian kami lakukan malam.
Meski berlangsung malam, kami tak lantas melewatkan begitu saja pemandangan sepanjang perjalanan. Teramati bahwa dari perkampungan hingga pos pertama terdapat kebun penduduk. Kebun ditanami kelapa, jambu mente, ubi kayu, dan lainnya dengan didominasi oleh pohon kelapa. Dari perkampungan menuju ke arah gunung, telah dibuat jalan tani dari semen selebar kendaraan truk sebagai akses menuju ke perkebunan. Jalan yang selalu menanjak itu jaraknya sekitar satu kilometer.
Tiba di pos pertama, kami berhenti sesuai ajakan pemandu. Di situ pengambilan presensi terjadi untuk yang kedua kalinya. Ini dilakukan karena telah ada tambahan peserta sepanjang perjalanan dari balai desa, yaitu peserta yang beristirahat di rumah-rumah penduduk setempat. Total peserta kini terhitung sebanyak empat puluh enam orang. Lima di antaranya adalah para pemudi.
Di perjalanan kemudian, peserta terdepan pun harus menunggu supaya peserta paling belakang bisa menyusul supaya kelompok tak saling terpecah. Barisan terakhir ini termasuk pula para pemudi yang tak bisa bergerak cepat. Dengan lesehan di bawah pohon kelapa, kami cukup lama menunggu dengan sabar hingga peserta yang paling belakang tiba.
Sejak pos kedua, tanaman kelapa tak lagi dijumpai. Begitu pula, jalan semen hanya berhenti beberapa jauh sebelum pos pertama, dilanjutkan dengan jalan setapak dengan semak-semak di tepiannya. Diselimuti gelapnya malam, terlihat dalam barisan dari belakang hingga jauh di depan  sana berkas-berkas cahaya lampu senter menemani langkah para pendaki menaiki tanjakan demi tanjakan. Barisan memanjang seperti ular, tetapi maju dengan lambat. Peserta tak bisa berjalan berjajar sebab jalan setapak ini tak cukup lebar. Di sebagian perjalanan, langkah kaki pun harus dibantu tongkat.
Kami  tiba di pos ketiga tepat setelah dua jam perjalanan dari titik start, jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Perhentian di sana kami lakukan selama dua jam. Ini peristirahatan yang terlama dibandingkan dengan di pos lainnya.
Pos ketiga adalah sebuah bangunan lumbung. Lokasinya ada di lebih dari pertengahan jarak pada perjalanan menanjak ini. Kami heran karena petani setempat bisa mendaki begitu tinggi dengan membawa bahan bangunan berupa kayu dan seng untuk membangun pondok.
Pada perhentian ini, sebagian pemuda pun tampak memanfaatkan kesempatan dengan berbaring. Kami pun untuk pertama kalinya diperkenankan menyantap bekal. Sejumlah orang yang membawa ubi dan pisang pun membakar bawaan mereka dengan kayu yang dikumpulkan. Sik asiiik, ada camilan yang rasanya seperti rendang. Eh ternyata, ada peserta yang beberapa hari sebelumnya baru tiba dari Padang.
Setelah perut terisi dan cukup melepas lelah, kami kemudian melanjutkan kembali pendakian. Selepas pos terakhir ini, hanya ada satu jenis pepohonan yang mendominasi. Tumbuhan lainnya hanya belukar dan semak rendah, juga alang-alang. Lalu, sekitar dua ratus meter dari sana, tak ada lagi pepohonan. Hanya ada tanggul-tanggul pepohonan mati  yang tampak mengering. Sebagian lainnya berupa batang-batangnya yang menghitam, lengkap dengan dahan-dahannya yang seperti tegak menyangga langit.
Meski sudah sangat jauh dari pemukiman, ternyata masih kami temui satu bekas kegiatan penggergajian pohon kering di tengah-tengah jalur yang kami lalui ini. Sementara di sebelah kiri kami, sering tampak berkas api membara dengan latar langit gelap. Sesekali api tampak menyala. Tiupan angin memang telah menyebabkan api tersebut makin mudah merambat.
Kondisi jalan kini pun makin bervariasi. Kadang jalan tampak padat sehingga stabil untuk pijakan kaki. Di etape lainnya, jalan terdiri dari tanah yang tidak stabil, yaitu kerikil yang mudah lepas. Ini  adalah resiko utama, yaitu bisa saja peserta tergelincir. Resiko lainnya adalah bebatuan yang mudah terjungkit dari posisinya. Jadi, yang di depan mesti hati-hati supaya tidak menyebabkan batu menimpa peserta yang di belakang.

Sampe seni tawa gere
“Seni tawa gere. Tahu apa itu?” satu pertanyaan terlontar dari peserta di barisan dekat kami.
“Yah, itu kan lagu. Sampe lera gere…. “ jawab peserta lain, yang memang lahir dan besar di tanah seberang.
“ Coba lihat ke depan anda. Ada bintang di sana”, jelasnya. Seperti sambil bawakan kuliah nih hehe, “yang tampak paling terang itu namanya seni tawa gere”, katanya lagi.
Sebenarnya, itu bukan bintang beneran. Tampak bersinar paling terang, benda langit itu lebih tepatnya adalah sebuah planet, planet Venus. Sering disebut bintang fajar, di Eropa dipuja sebagai dewi kecantikan. Orang Lamaholot menyebutnya seni tawa gere. Yah, kami tiba di tapal kuda dengan pertanda bahwa kami akan menuju fajar.
Suhu terasa makin dingin menggigit. Sebuah kelompok lantas berhenti beberapa ratus meter sebelum tapal kuda, lalu memasang api dan berdiang. Sementara kami yang lain terus berpacu menuju tapal kuda. Jelang pukul dua dini hari, kami tiba di sana. Pemandu menghentikan perjalanan, karena pendakian setelah itu melewati medan berbahaya. Menurutnya, pendakian yang aman hanya dapat dilakukan apabila ada penerangan yang cukup, yaitu ketika matahari telah terbit.
Jadi, peserta pun melepas bawaan masing-masing dan berkumpul. Sebagiannya menyalakan api unggun. Api dinyalakan dengan kayu dan dedaunan kering yang sempat dipungut sepanjang perjalanan tadi. Peserta lain mengisi waktu dengan mengobrol sekeliling api. Yang kelelahan pun memulihkan tenaga dengan berbaring.
Agak lama tak berdiang dekat api, dinginnya suhu makin terasa sampai ke dalam tulang. Jari-jari tangan sulit digerakkan untuk menggenggam. Lutut terasa enggan untuk ditekuk, sehingga langkah kaki pun jadi kaku. Cairan pelumas sendi barangkali membeku di dalam sana oleh suhu dingin ini. Beruntunglah bagi sebagian peserta yang lengkap mengenakan kaus tangan dan pakaian tebal.
Sementara mengobrol, sesekali terdengar bunyi semak terbakar pada jarak dekat. Ternyata asalnya di bawah kami dari arah barat. Tampak saat itu bekas puntung daun yang menghitam diterbangkan angin ke mana-mana.
Tapal kuda sendiri lokasinya hampir ke dekat puncak. Letaknya sudah persis di tepi kawah, tetapi puncak sendiri masih terletak lebih tinggi lagi. Kawah memang bukan merupakan area tertinggi dari gunung ini.
Dari sana, kami boleh bebas melepas pandangan menembus gelap. Ada dua sumber cahaya yang berkelap kelip di hadapan kami. Bintang yang menyala di atas sana, dan lampu dari pemukiman penduduk di bawah. Jika tiba-tiba muncul kabut, maka sejenak hanya kegelapanlah yang ada. Cahaya lampu di bawah kami jadi meredup dan hilang di balik kabut yang menutup. Di kanan kami, jika membelakangi kawah utama, tampak samar-samar pemandangan menyajikan dataran seputar Witihama. Sementara itu, di kiri kami hanya tampak warna kelam. Ketika beranjak siang, ternyata tampak bagian ini tertutup awan, sehingga menghalangi pemandangan ke sana.
Saat mulai terang, tampak bebatuan di puncak yang berwarna putih. Batu-batu itu terlihat basah oleh embun pagi. Sayangnya, benda kreasi alam itu kini penuh bekas-bekas vandalisme. ‘Buku tamu’, begitu kami menyebut batu yang penuh warna-warni  tulisan dari cat. Tentu saja ini mengganggu keindahan. Andaikata ‘buku tamu’ itu dilokalisir di suatu tempat, di mana setiap pendaki menulis nama mereka di sana, alangkah baiknya itu. Atau lebih kreatif lagi, pendaki boleh menulis kisah perjalanan mereka, yang nantinya bisa dibaca kemudian.
Di situ pun banyak terdapat tanaman endemik khas pegunungan, yaitu bunga edelweys. Tumbuhan yang hanya tumbuh di pegunungan ini tak pernah layu bunganya. Ada pula tumbuhan pakis yang ukurannya sangat besar. Sayangnya, tidak ada dokumentasi foto yang kami lakukan untuk tetumbuhan terakhir ini.
Sementara itu, di bawah kami, tampak jelas lapisan awan yang menutupi perkampungan. Letaknya di arah barat. Gugusan awan itu menutup sampai ke Bukit Seburi, sehingga menghalangi pemandangan ke bagian barat Adonara.
Kami pun menunggu sunrise. Saat yang dinanti-nantikan sebagian besar peserta. Tepat ketika matahari seinci demi seinci muncul di hadapan, peserta merekam momen itu dengan peralatan kamera yang dibawa. Setelah foto-foto dengan aneka pose, kami pun lalu diperkenankan sarapan dengan bekal yang tersisa.
Di tapal kuda, total kami berhenti selama sekitar empat jam sejak malam sebelumnya. Pendakian pun mesti kami mulai lagi. Tapal kuda berlokasi di tepi mulut kawah. Jadi, perjalanan kami lanjutkan dengan menyisir tepian kawah ke arah timur, yaitu memutar ke kiri. Awal perjalanan itu dimulai dengan jalur yang menurun. Jalan setapak ini tepat berada di punggung teratas yang genting dari tepian lubang menganga itu. Di kanan kami, kawah besar menghadap langit, sementara di kiri kami ada lereng yang miring hingga ke kaki gunung. Jadi, perjalanan harus kami lakukan dengan hati-hati.
Jika anda berteriak, suara pantulannya terdengar sangat jelas di dinding tebing yang keras itu. Selain tersusun dari batuan pejal yang stabil, kawah juga terdiri dari batu-batu yang tampak tidak stabil. Ini tentu menyulitkan siapapun yang menuruni kawah, karena batu itu beresiko mudah runtuh.
Dari jauh, medan yang akan kami lalui kelihatan sangat berbahaya. Tetapi ternyata itu hanya karena tipuan mata. Tahu mekanime tipuan ini? Coba ingat ketika bulan tampak lebih besar jika terbit dari balik bukit, padahal ukurannya sama saja. Ini tipuan yang sejenis. Karena jarak pandang yang begitu leluasa, jarak yang sebenarnya jauh itu dikira dekat saja. Karena itu, punggung bukit yang cukup lebar dikira sempit.
Tipuan ini seolah menyurutkan keberanian sebagian peserta untuk lewat di atasnya. Tetapi peserta yang gentar ini muncul lagi keberanian mereka, karena para pemudi tampak mampu melewati tantangan ini.
“Para gadis saja mudah melakukannya, masakan kita tidak?” begitu komentar mereka yang sempat terdengar.  Tebing kawah di sisi berlawanan memang tampak mendirikan bulu kuduk, karena kelihatan hampir tegak lurus hingga ke dasar kawah. Katanya, menyusuri kawah ada tantangannya tersendiri dan tidak semua orang bisa. Sejumlah peserta kabarnya beringsut dengan hati-hati di punggung gunung. Dari sisi anda sendiri, tebing memang tidak tampak menakutkan, karena terkesan rendah saja, tetapi dari sisi yang berlawanan, dinding terjal itu tampak sangat jelas. Dari cerita, beberapa peserta pernah menuruni sampai ke dasar itu.
Ternyata di dalam mulut kawah terdapat tanggul pohon yang masih tersisa. Berarti, kawah gunung itu pun pernah menjadi habitat tumbuhan tersebut. Teringat tayangan National Geographic bahwa di pegunungan, pepohonan mengambil air dari kabut, bukan dari akar. Di masa lalu pun barangkali terdapat periode istirahat vulkanik yang cukup panjang, sehingga bisa terjadi suksesi ekosistem tumbuhan hingga mencapai taraf itu. Konon  kayu pohon ini sangat keras. Memang, tampak batangnya tak tersentuh sama sekali oleh rayap.
Di punggung pendakian selepas tapal kuda, terdapat medan yang tersulit di jalur ini. Dinding tebing yang dipanjat memang bersatu dengan dinding kawah. Kontur pendakian ini cukup curam, tetapi memudahkan karena terdiri dari bebatuan yang stabil, sehingga pijakan kami mantap dan tak tergelincir. Di lokasi ini, jangan menatap langit saat memanjat, sebab terkadang awan yang tampak melintas bisa menyebabkan pusing karena bebatuan gunung seperti tampak sedang bergeser. Kesan ini sama dengan ketika anda di dalam kendaraan dan benda-benda di tepi jalan kelihatan bergerak, bukan kendaraannya sendiri. Apalagi awan terlihat sangat dekat di sisi kepala kita.
Di ujung pendakian tersulit itu, kami temui sebuah lapangan luas. Letaknya sudah makin dekat dengan puncak tertinggi. Tepi lapangan itu pun langsung berbatasan dengan mulut kawah. Kelompok berhenti di sana dan beristirahat. Lalu mengabarkan keberadaan mereka ke penduduk desa di bawah dengan member tanda lewat bendera dan memantulkan cahaya matahari dari cermin. Dari desa-desa di bawah kami, sering tampak kilatan pantulan cahaya yang kami duga sebagai penduduk yang juga menunjukkan posisi mereka.
Untuk mengirim pesan, memang kini telah ada ponsel dan ada pula jangkauan sinyal selular. Tapi kalau tak ada fasilitas ini, barangkali bendera semaphore atau morse akan sangat berguna. Yah, bagaimana bisa mengirim berita kepada teman di bagian punggung gunung yang lain? Meski tampak dekat saja, tetapi  ini jarak yang jauh ini menyulitkan untuk bisa saling mengirim pesan dengan mengandalkan jarak jelajah dari suara manusia.
Dari arah barat lapangan, kita bisa melihat desa Sagu yang tampak jelas di bagian utara pulau. Kampung ini ada di tepi pantai dan merupakan kota pelabuhan yang ramai di masa lalu sebelum Waiwerang menggantikannya di bagian timur pulau. Sementara bagian barat sayangnya tertutup awan sehingga Bukit Seburi tampak tak terlihat. Hanya  desa Lite yang terbuka pemandangannya. Desa yang tampak paling besar di bawah sana adalah Witihama, sedangkan kampung terdekat adalah Wato Lolon. Di ujung barat, pulau Flores pun tampak anggun dengan Ile Mandirinya.
Laut seperti dekat di bawah kami, karena pemandangan begitu terbuka ke sana. Tampak gunung lewotolok di pulau lembata di sebelah. Perairan seperti kaca biru di bawah kami, berbatasan dengan langit biru di atas.

Ada Penghuninya
Di puncak pas, sempat terlihat kemunculan binatang kuda. Mereka muncul dalam tiga kelompok, masing-masing dengan enam, tujuh, dan sembilan ekor. Dari penampilan fisik mereka yang tampak jauh berbeda, ketiga kelompok ini bukanlah hewan yang sama, sehingga kami menduga kuda yang muncul hari itu jumlahnya sebanyak dua puluh dua ekor. Tampak banyak tanda-tanda aktivitas binatang ini di lapangan, yaitu bekas-bekas tapak kaki. Di sekitar puncak pas pun terdapat banyak jejak-jejak jalan serupa jalan setapak. Sebagian besarnya terbentuk dari jejak-jejak binatang kuda yang menjadi penghuninya. Juga kambing liar yang kehadirannya kami ketahui dari adanya kotoran mereka. Kambing-kambing ini merumput di sana, dan kabarnya boleh bebas diburu.
Di lapangan maupun di puncak, rerumputan tampak kering. Barangkali pemandangan itu akan berbeda di musim hujan. Apa pada musim itu padang rumput terdapat tanaman yang berbunga? Atau ada bentangan permadani hijau di sana? Entahlah.

Perjalanan Pulang
Kekeliruan dalam mengkoordinir aktivitas peserta menyebabkan acara menaikkan bendera jadi tak pasti. Ini terjadi karena kelompok terpecah-pecah dan berjauhan satu sama lain, dan rencana lokasi pengibaran pun tidak dipastikan dengan baik. Sebagian peserta ada di puncak pas, yaitu titik tertinggi gunung, sebagian lainnya ada di lapangan, bahkan beberapa darinya memilih lebih dulu turun karena kelelahan. Jadi, peristiwa pengibaran hanya diikuti oleh sebagian kecil peserta.
Selain kelompok kami, masih ada dua kelompok pendaki lagi. Ada sejumlah peserta yang berangkat dari  Lamabayung dan Lamalaka. Mereka datang dari sisi timur gunung. Untuk yang mendaki dari sana, mereka langsung ke puncak pas, tanpa lewat kawah lagi. Sebagian dari mereka adalah pria-pria yang membawa tombak dan anjing pemburu. Barangkali, mereka akan berburu kambing liar di gunung. Tetapi kemunculan kami dari malam sebelumnya barangkali menuyebabkan binatang itu telah menyingkir duluan karena sadar akan kehadiran musuh mereka.
Dari cerita para pendaki sebelumnya, jalur pendakian dari timur ini barangkali lebih curam, yaitu bermula dari Lamahelan atas. Di sisi itu, sejumlah perkampungan  tampak berdiri berpasangan. Ada kampung atas dan ada kampung bawah sebagai kampung satelit. Kampung bawah dibangun dekat jalan raya, sementara kampung atas adalah kampung induk. Tampak jelas jalur jalan yang menghubungkan masing-masing kampung ini terlihat dari bagian timur gunung.
Kami lalu sempat ke puncak pas, di mana terdapat pilar yang menunjukkan ketinggian gunung. Pada patok dari semen yang dibuat tepat di titik tertinggi, tertulis angka elevasi titik ini.
Sebuah kelompok kecil yang merupakan pecahan dari kelompok kami ternyata menuju mata air.Sangat disayangkan bahwa tidak semua kami menuju kawah yang ada mata airnya itu, yang letaknya menurun ke arah timur. Air di puncak itu tampak kehitam-hitaman, kurang jelas apa itu warna mineral atau warna organik. Air itu terasa segar, dan lebih dingin dari air yang kami bawa.
Dari puncak pas, kami memutar ke sisi timur, lalu kembali lagi ke barat melingkari kawah menuju kemoti. Kemoti adalah tempat dengan sebuah formasi berbentuk permainan congklak. Memang jadi misteri sendiri kenapa salah satu wujud kebudayaan manusia bisa berada di puncak gunung, tertanam di dalam batu. Di sisi itu pula terdapat sebuah lubang yang katanya terdapat gas belerang. Letak lubang itu tidak tepat berada di jalur pendakian, sehingga peserta mesti meninggalkan barisan untuk menuju ke sana.
Topografi puncak dapat terlihat jelas jika gunung tak tertutup awan dan terlihat dari arah timur, misalnya dari kota Waiwerang. Tapal kuda bisa anda lihat dari lereng kiri. Lembah pertama yang tampak, yaitu ada turunan, di situlah tapal kuda. Setelah tapal kuda, ada tanjakan yang berakhir di titik tertinggi. Setelah itu ada lembah lagi di bagian barat, satu pendakian lagi ke kanannya, dan berakhir di lereng. Kawah terbesar adalah kawah utama yang merupakan hasil bentukan dari letusan terakhir, dan hanya terlihat jelas dari arah barat.
Mengitari kawah satu putaran penuh, kami tiba kembali di tempat peristirahatan pada malam sebelumnya. Di situ, kami menunggu hingga peserta paling akhir tiba. Sejumlah kelompok kecil lain tampak naik belakangan, yaitu setelah siang. Mereka tiba jelang tengah  hari. Jadi menghitung lama perjalanan mereka jika mereka berangkat selepas jam enam pagi, barangkali perjalanan mereka memakan waktu lima jam. Itulah perhitungan waktu yang serupa dengan yang dipakai ama Marko.
Di perjaanan pulang, kelompok kami jadi terpecah-pecah karena kecepatan tempuh yang berbeda-beda. Kabarnya, salah satu kelompok nyasar menuju jalan ke Lamalota. Jadi peserta yang di depan menunjuk jalan dengan memberi tanda di pepohonan dan dedaunan. Kami pun bisa terbantu dengan mengingat melihat jejak serta lokasi yang kami lalui semalam.
Di akhir perjalanan itu, tenaga kami sempat dipulihkan dengan mencicipi buah kelapa, pepaya, dan juga disuguhi minuman penyegar dari mayang kelapa.

Di kelompok kami, ada sejumlah peserta yang datang dari Flores daratan. Mereka mengatakan jika ada agenda pendakian Ile Mandiri, mereka siap menjadi tuan rumah. Tertarik? Mari coba mencintai alam.
Melihat keberanian gadis-gadis di film Vertical Limit, para penyelam di film Sanctum, atau membaca kisah para penyeberang gurun Australia, barangkali kita bisa jadi lebih berani. Tetapi persiapan matang adalah hal yang perlu. (Simpet Soge)
Comments
3 Comments

3 komentar:

mengenal bing image creator mengatakan...

Kapan rencana mendaki di ile mandiri bang, kloa jadi tlong di infokan. Saya mau ikut juga
Lewowerangv@gmail.com
0813 4377 0825

mengenal bing image creator mengatakan...

Kapan rencana mendaki di ile mandiri bang, kloa jadi tlong di infokan. Saya mau ikut juga
Lewowerangv@gmail.com
0813 4377 0825

Admin mengatakan...

Biasanya setiap 17 Agustus selalu ada kegiatan pendakian. Datang langsung ke kampung Dua Muda pada tanggal 16 Agustus sore. Biasanya para pendaki sudah rame dari titik start ini. Bawa dengan bekal. Saya sudah dua kali ikut coz kebetulan lagi di adonara. Saat ini saya sudah di luar adonara