Gambar: seu2007mbbs.wordpress.com |
Wisuda. Apa itu? Sejauh yang saya tahu, wisuda
adalah peristiwa serimonial pengukuhan kelulusan dari lembaga pendidikan tertentu.
Tetapi bagi beberapa kalangan di NTT, kata ini disempitkan artinya jadi
“penganugerahan gelar sarjana*)”. Wah!
Lihat saja. Wisuda perguruan tinggi maupun akademi dipandang
sebagai peristiwa besar, sejajar dengan martabat gelar akademis yang kental
nuansa feodalisnya itu. Perayaannya biasa diselingi pesta, dengan ongkos yang
lumayan, memakai ruangan aula yang besar, dihadiri pejabat, dan sekalian
pernak-pernik wah lainnya.
Tetapi coba lihat di televisi **), upacara wisuda bukan
monopoli perguruan tinggi. Di USA misalnya, yang bisa kita lihat di tayangan
filem, kelulusan SMA juga diakhiri dengan upacara wisuda. Kita juga sering
dengar kalau anak-anak TK kita turut menggelar upacara tersebut di ujung masa
keberadaan mereka di lembaga itu. Jadi, wisuda tentu saja tidak hanya untuk
perguruan tinggi, karena lembaga pendidikan yang lebih rendah pun menggelar
upacara serupa.
Pengalaman soal perayaan kelulusan saya dari perguruan
tinggi, peristiwanya berlangsung dengan biasa-biasa saja. Tak ada yang
istimewa. Apalagi, waktu itu saya masih mengais rezeki untuk persiapan
pulang kampung.
Seingat saya, sehari sebelum upacara tersebut berlangsung
telah dilakukan gladi. Saya ijin setengah hari dari boss. Ikut gladi resik
wisuda, begitu alasan saya. Sore harinya, saya mesti kembali lagi ke tempat
kerja.
Hari itu, di kost tidak ada keramaian. Hanya seorang
teman saya yang jauh-jauh datang menginap karena tahu besoknya saya wisuda. Orang
tua yang di pelosok Adonara tidak datang karena konsekwensi biaya yang tidak
perlu untuk hal yang tak mendesak ini. Bagi saya, lebih baik lagi jika biayanya
dialihkan untuk ongkos sekolah adik saya yang lain.
Untuk pernyataan syukur, saya hanya ikuti tradisi
anak-anak kost dengan penyederhanaan di sana-sini. Acara berlangsung tanpa
musik, tanpa tenda. Cukup dengan doa, pesan kesan dari teman-teman kost serta
bapak mama kost sebagai pengasuh kami, dan saya sendiri sebagai yubilaris.
Seorang teman memandu sebagai protokol.
Acara tidak harus meriah, cukup di ruang tengah rumah
bapak kost, bersama sekitar belasan teman-teman kost lainnya dalam semangat
‘esprit de corps’ kami. Persiapannya saya serahkan ke Ibu kost yang sigap itu
bersama dengan dua tiga gadis yang membantu. Beberapa teman saya juga turut
datang.
Ada nasihat kecil tapi berkesan dari bapak kost “anda
telah tamat, mulailah dengan pekerjaan-pekerjaan kecil”.
Sehari setelah itu, saya kembali ke lokasi kerja saya,
jadi buruh bangunan.
Justru kelulusan SMA saya yang dirayakan lebih layak.
Saat itu, orang tua saya dengan beberapa adik serta sepupu saya datang dari
kampung. Saya sendiri kaget karena mereka datang beramai-ramai dan bawa banyak
bawaan. Tiga tahun pendidikan sekolah menengah saya telah usai, dan mesti
dirayakan hari itu!
Dengar-dengar, wisuda magister dan doktor kabarnya tidak
punya greget lagi dan tak ‘seramai’ wisuda sarjana kita. Seorang sesama blogger
pernah menulis bahwa pernah ia tidak ikut upacara wisuda magisternya dan tidak
diapa-apakan. Memang, waktu itu ia ada jadwal menggelar diskusi sehingga
kegiatan bernuansa upacara ini tak diikutinya. Ijasahnya tetap ia terima
seperti biasa.
Yang aneh bagi saya, mengapa perayaan 'wisuda' kelulusan
sekolah menengah sering tak dirayakan? Ingat, perayaan ini adalah suatu bentuk
‘inisiasi’, suatu tradisi dari jaman kuno, tanda di mana seseorang disambut
masuk ke dalam sebuah tahap kehidupan (dalam hal ini kehidupan akademis) yang
baru.
Para siswa-siswi sekolah memang tak menuntut, tetapi
mereka tentu ingin menjadi orang yang diistimewakan. Menjadi spesial dalam satu
hari adalah sebuah hal yang lumayan penting bagi pribadi manusia. Hanya untuk
hari kelulusan itu bagi siswa-siswi sekolah menengah.
Makanya, kini mereka mencari kompensasi lain.
Mengistimewakan hari tersebut, mereka melakukannya dengan cara mereka sendiri
yang kemudian terasa sedikit mengganggu bagi orang sekitar. Pawai di jalan umum
tanpa ijin polisi yang nantinya mengganggu lalulintas, corat-coret baju padahal
baju itu bukan mereka yang beli, dan lain-lainnya.
Tapi itu cuma aksi kompensasi. Utamanya adalah perayaan
itu sendiri, suatu hal yang sebenarnya bernilai luhur.
*) maksud saya mencakup juga gelar ahli madia dan lainnya
**) sebagai sebuah jembatan informasi tentang dunia di
luar kita