Senin, 17 Desember 2012

Ilegal


"Malam kemarin, sempat ada antar kopi gula rehing. Ikut sejenak di rombongan, diajak oleh yang punya urusan. Ada tiga rombongan kami. Ke Lamalewa, ke Keropuken, dan terakhir ke Lamawolo. Saya ikut rombongan yang ke Lamawolo. Yang ke sana antara lain Dus Masan dengan Tinus Pati."
Gambar: ecs5.tokopedia.net
Wah, ternyata ada orang yang baru pulang Malaysia. Panjang lebar ceritanya.
Si orang rantau kita ini telah menikah. Tiga anak dan istri masih di Indonesia, bersama ibu mereka. Soal pernikahannya. Sekilas cerita bisa saya tahu. Maklum, kampung kecil ini bisa merekam segala riwayat orang. Pasangan ini sebenarnya berkenalan dari kegiatan seni peran.
Dulu, ada pementasan drama di desa tetangga. Kejadiannya sudah lama, mungkin di sekitar tahun 1989, di usia saya yang tahun ke-4. Keduanya memerankan sepasang kekasih yang kemudian menikah. Dari dunia panggung, hubungan itu dibawa ke dunia nyata. Mereka kemudian benar-benar menikah.
Orang ini kemudian mengikuti jejak sejumlah besar pendahulunya, menjadi tenaga buruh migran ke Malaysia. Dia tinggalnya satu camp dengan tetangga rumah saya, seorang lain dari kampung yang lebih sering hilir mudik Malaysia-Adonara. Si perantau kita sudah selama tiga belas tahun ini di Malaysia, tanpa sekalipun pernah kembali ke kampung. Di sana, kerjanya di mana, saya kurang tahu pasti.
Tapi ceritanya, saat itu mereka sementara duduk mengelilingi meja makan. Tiba-tiba muncullah polisi yang memeriksa. Tak bisa bergerak. Dompet serta ponsel dikasih ke temannya untuk mencegah barang-barang itu disita. Tangannya lalu mesti disodor ke petugas. Diborgol.
Di situ terdapat beberapa pekerja lain, yang adalah TKI juga. Tetapi mereka punya kelengkapan surat-surat. Si perantau kita, orang yang ditangkap ini, memang punya paspor. Tapi ia tak punya permit alias ijin menetap sementara. Langsung ia dibawa ke tahanan.
Anehnya, ia hanya menyesali rambut panjangnya yang mesti dicukur menjadi hampir botak. Diproses di sana. Masuk ke pengadilan. Diputus tiga bulan. Diberi kesempatan membela diri, istilah mereka “merayu”. Vonis tiga bulan tetap bertahan. Menjalani masa menjadi narapidana selama waktu tersebut.
Katanya, keadaan mereka jadi kurang manusiawi saat itu. Di tahanan, mereka diikat berlima dalam satu ikatan yang sambung menyambung. Jadi, ketika seorang harus buang air, kelima-lima orang tersebut harus sama-sama ke WC. Di penjara, kalau mandi, semuanya harus masuk sama-sama dalam ruangan besar dalam keadaan telanjang bulat dan kemudian disirami air.
Dikirim kembali ke Indonesia dari Pasir Gudang, ke Tanjung Balai. Masuk ke Indonesia. Naik kapal laut ke Jakarta, selama dua minggu di sana.
Di Jakarta, kakinya sempat gatal-gatal, bewore istilah kampungnya. Di penjara ada perawat. Ketika ditunjuk gatal-gatal itu, si perawat langsung tahu.
“Ah, itu jamur”
“Jamur?” Si perantau kita heran. Apa memang benar yang ia dengar. Yang ia tahu, jamur adalah sejenis tanaman yang tumbuh di semak belukar. Itu mungkin salah pengajaran di SD yang membuat orang mengira jamur hanyalah sejenis flora yang bisa kelihatan mata.
Diberi obat salep dan pil. Tak lama, jamur itu pun hilang. Obatnya memang ampuh, katanya.
Dikirim dengan kapal laut lagi, turun di Larantuka. Tiba di Larantuka, menuju kantor Dinas Sosial. Di sana diberi uang sekadarnya  untuk ongkos ke kampung. Memang, dari kantor dinas di Jakarta sudah diberi kelengkapan surat-surat pemberitahuan untuk mengurus mereka. Kepulangan mereka diurus oleh Negara. Ceritanya, ada beberapa orang dalam rombongan. Perantau lain asalnya dari bagian Flores yang lain. Sementara dari Flores Timur hanya ia sendiri.
Oleh pegawai kantor DINSOS, perjalanan pulang itu harus dipaparkan dengan mendetail. Maklum, tiga belas tahun warga negara ini merantau, dan tentu ada banyak perubahan yang tidak dapat ia ikuti di kampung halaman.
Lalu, bersama petugas, mereka ke jalan raya. Tahan ojek di jalan, lalu beritahu tujuannya ke Pante Palo. Tarif angkutan dijelaskan sedetil-detilnya.
Di Waiwadan, ia mencari dua anaknya yang ia ketahui tinggal di situ. Bangunan-bangunan yang lama telah baru semuanya kini. Lorong-lorong telah lebih tertata. Tempat itu tampak tak lagi dapat diakrabi. Hanya mengira-ngira saja di mana lokasinya.
Ada seorang gadis di situ. Kesempatan bertanya tentang di mana anaknya tinggal.
“Apa kamu kenal Minah? Apa ia tinggal di sekitar sini?”
Tak disangka, si gadis adalah anaknya sendiri yang bersekolah di kota kecamatan ini. Maklum, anaknya mungkin baru dua tahun ketika ditinggal pergi. Lalu, muncul juga anaknya yang laki-laki.
“Bapak punya HP?”
“Tidak punya”.
“Wah, bikin malu-malu kita saja. Pulang Malaysia tidak bawa HP”
Yang ia bawa hanya satu buah tas kecil, entah apa isinya. Juga sebuah baju kuning pemberian dari Polisi.
Dari Waiwadan, menuju kampung dengan jalan kaki, sekalian untuk mengakrabi diri dengan suasana tanah kelahiran. Wah, semunaya berubah. Tanaman-tanaman komoditi telah tampak di mana-mana. Ini pohon kepok, dulu belum ada. Itu isi monolog sepanjang jalan. Wah, sekarang sudah ditanami oleh si anu barangkali. Itu pohon mente, dulunya belum ada. Sekarang sudah ada.
Nyatanya, para TKI yang dipulangkan secara paksa terhitung tinggi. Di kampung, sudah ada beberapa yang pulang dengan kisah serupa. Kemarin, sempat jug abaca di Flores pos, bahwa Flores Timur juga adalah salah satu dari tiga kabupaten tertinggi di NTT yang punya TKI secara ilegal.
Lanjut ke acara adatnya.
Juru bicara pun menyampaikan. Tinus Pati angkat bicara.
“Tuang guru noo umat teti raang buara pi, noong riung rehing be kopi gula ha’e kame hau amet te mio. Mio tepi uma lango tobo moong kaka ari wahangkae, nabe kurana di kame terima kasih, nabe raina di kame terima kasih.”
Lantas ada tanggapan dari si tuan rumah.
Duduk-duduk lama. Pulang kembali ke rumah almahrum. Yang dari Lamalewa telah lebih dulu tiba. Hendak menunggu kembalinya rombongan yang ke Koliwoten. Tetapi kelamaan, sehingga memilih pulang lebih dulu.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: