"Malam kemarin, sempat ada antar kopi gula rehing. Ikut sejenak di rombongan, diajak oleh yang punya urusan. Ada tiga rombongan kami. Ke Lamalewa, ke Keropuken, dan terakhir ke Lamawolo. Saya ikut rombongan yang ke Lamawolo. Yang ke sana antara lain Dus Masan dengan Tinus Pati."
![]() |
Gambar: ecs5.tokopedia.net |
Si orang rantau
kita ini telah menikah. Tiga anak dan istri masih di Indonesia, bersama ibu
mereka. Soal pernikahannya. Sekilas cerita bisa saya tahu. Maklum, kampung
kecil ini bisa merekam segala riwayat orang. Pasangan ini sebenarnya berkenalan
dari kegiatan seni peran.
Dulu, ada pementasan
drama di desa tetangga. Kejadiannya sudah lama, mungkin di sekitar tahun 1989,
di usia saya yang tahun ke-4. Keduanya memerankan sepasang kekasih yang
kemudian menikah. Dari dunia panggung, hubungan itu dibawa ke dunia nyata.
Mereka kemudian benar-benar menikah.
Orang ini
kemudian mengikuti jejak sejumlah besar pendahulunya, menjadi tenaga buruh
migran ke Malaysia. Dia tinggalnya satu camp
dengan tetangga rumah saya, seorang lain dari kampung yang lebih sering hilir
mudik Malaysia-Adonara. Si perantau kita sudah selama tiga belas tahun ini di
Malaysia, tanpa sekalipun pernah kembali ke kampung. Di sana, kerjanya di mana,
saya kurang tahu pasti.
Tapi
ceritanya, saat itu mereka sementara duduk mengelilingi meja makan. Tiba-tiba
muncullah polisi yang memeriksa. Tak bisa bergerak. Dompet serta ponsel dikasih
ke temannya untuk mencegah barang-barang itu disita. Tangannya lalu mesti
disodor ke petugas. Diborgol.
Di situ
terdapat beberapa pekerja lain, yang adalah TKI juga. Tetapi mereka punya
kelengkapan surat-surat. Si perantau kita, orang yang ditangkap ini, memang punya paspor. Tapi ia tak
punya permit alias ijin menetap sementara. Langsung ia dibawa ke tahanan.
Anehnya, ia
hanya menyesali rambut panjangnya yang mesti dicukur menjadi hampir botak.
Diproses di sana. Masuk ke pengadilan. Diputus tiga bulan. Diberi kesempatan
membela diri, istilah mereka “merayu”. Vonis tiga bulan tetap bertahan.
Menjalani masa menjadi narapidana selama waktu tersebut.
Katanya, keadaan
mereka jadi kurang manusiawi saat itu. Di tahanan, mereka diikat berlima dalam
satu ikatan yang sambung menyambung. Jadi, ketika seorang harus buang air,
kelima-lima orang tersebut harus sama-sama ke WC. Di penjara, kalau mandi,
semuanya harus masuk sama-sama dalam ruangan besar dalam keadaan telanjang
bulat dan kemudian disirami air.
Dikirim
kembali ke Indonesia dari Pasir Gudang, ke Tanjung Balai. Masuk ke Indonesia.
Naik kapal laut ke Jakarta, selama dua minggu di sana.
Di Jakarta,
kakinya sempat gatal-gatal, bewore
istilah kampungnya. Di penjara ada perawat. Ketika ditunjuk gatal-gatal itu, si
perawat langsung tahu.
“Ah, itu
jamur”
“Jamur?” Si perantau
kita heran. Apa memang benar yang ia dengar. Yang ia tahu, jamur adalah sejenis
tanaman yang tumbuh di semak belukar. Itu mungkin salah pengajaran di SD yang
membuat orang mengira jamur hanyalah sejenis flora yang bisa kelihatan mata.
Diberi obat
salep dan pil. Tak lama, jamur itu pun hilang. Obatnya memang ampuh, katanya.
Dikirim
dengan kapal laut lagi, turun di Larantuka. Tiba di Larantuka, menuju kantor Dinas
Sosial. Di sana diberi uang sekadarnya
untuk ongkos ke kampung. Memang, dari kantor dinas di Jakarta sudah
diberi kelengkapan surat-surat pemberitahuan untuk mengurus mereka. Kepulangan mereka
diurus oleh Negara. Ceritanya, ada beberapa orang dalam rombongan. Perantau
lain asalnya dari bagian Flores yang lain. Sementara dari Flores Timur hanya ia
sendiri.
Oleh pegawai
kantor DINSOS, perjalanan pulang itu harus dipaparkan dengan mendetail. Maklum,
tiga belas tahun warga negara ini merantau, dan tentu ada banyak perubahan yang
tidak dapat ia ikuti di kampung halaman.
Lalu,
bersama petugas, mereka ke jalan raya. Tahan ojek di jalan, lalu beritahu
tujuannya ke Pante Palo. Tarif angkutan dijelaskan sedetil-detilnya.
Di Waiwadan,
ia mencari dua anaknya yang ia ketahui tinggal di situ. Bangunan-bangunan yang
lama telah baru semuanya kini. Lorong-lorong telah lebih tertata. Tempat itu tampak
tak lagi dapat diakrabi. Hanya mengira-ngira saja di mana lokasinya.
Ada seorang
gadis di situ. Kesempatan bertanya tentang di mana anaknya tinggal.
“Apa kamu
kenal Minah? Apa ia tinggal di sekitar sini?”
Tak
disangka, si gadis adalah anaknya sendiri yang bersekolah di kota kecamatan ini.
Maklum, anaknya mungkin baru dua tahun ketika ditinggal pergi. Lalu, muncul juga
anaknya yang laki-laki.
“Bapak punya
HP?”
“Tidak
punya”.
“Wah, bikin
malu-malu kita saja. Pulang Malaysia tidak bawa HP”
Yang ia bawa
hanya satu buah tas kecil, entah apa isinya. Juga sebuah baju kuning pemberian
dari Polisi.
Dari
Waiwadan, menuju kampung dengan jalan kaki, sekalian untuk mengakrabi diri
dengan suasana tanah kelahiran. Wah, semunaya berubah. Tanaman-tanaman komoditi
telah tampak di mana-mana. Ini pohon kepok, dulu belum ada. Itu isi monolog
sepanjang jalan. Wah, sekarang sudah ditanami oleh si anu barangkali. Itu pohon
mente, dulunya belum ada. Sekarang sudah ada.
Nyatanya, para TKI yang
dipulangkan secara paksa terhitung tinggi. Di kampung, sudah ada beberapa yang
pulang dengan kisah serupa. Kemarin, sempat jug abaca di Flores pos, bahwa
Flores Timur juga adalah salah satu dari tiga kabupaten tertinggi di NTT yang
punya TKI secara ilegal.
Lanjut ke
acara adatnya.
Juru bicara
pun menyampaikan. Tinus Pati angkat bicara.
“Tuang guru
noo umat teti raang buara pi, noong riung rehing be kopi gula ha’e kame hau
amet te mio. Mio tepi uma lango tobo moong kaka ari wahangkae, nabe kurana di
kame terima kasih, nabe raina di kame terima kasih.”
Lantas ada
tanggapan dari si tuan rumah.
Duduk-duduk
lama. Pulang kembali ke rumah almahrum. Yang dari Lamalewa telah lebih dulu
tiba. Hendak menunggu kembalinya rombongan yang ke Koliwoten. Tetapi kelamaan,
sehingga memilih pulang lebih dulu.