Saya adalah
orang yang tidak terlalu takut pada hantu. Mungkin iya. Tapi itu sekarang.
Dulu, saya pernah diserang oleh fenomena menakutkan ini, kira-kira waktu usia
saya sepuluh tahun. Saya masih di kelas 4 SD waktu itu.
Sendirian,
saya tidur di kamar depan kalau biasanya anggota keluarga lain sedang jaga
kebun di ujung musim hujan. Biasanya, kalau dekat musim panen, kebun palawija
kecil kami selalu berada di bawah ancaman hama binatang. Bapak rutin menjaganya
setiap malam hingga pagi. Saya hanya sesekali menemani ke kebun dekat hutan tersebut.
Tiap malam
di musim-musim itu, kami
biasanya makan malam agak telat karena ibu memasaknya setelah pulang kebun. Makanya,
waktu menunggu makan saya manfaatkan untuk tidur sejenak. Pas jam makan, baru anggota
keluarga yang lain datang dan membangunkan. Tidur siang adalah hal yang tak
pernah saya lakukan. Saya waktu itu bahkan heran bahwa orang ternyata bisa
tidur siang, karena setahu saya, orang hanya tidur ketika gelap tiba.
Suatu
ketika, saya terjaga sebelum makan malam ini. Lampu pelita ada di sisi kiri
saya. Saya menghadap kearah timur, arah muka rumah kami, di mana ada jendela
yang menghadap ke halaman depan rumah. Dari sanalah pemandangan menyeramkan
datang. Sebuah makhluk mirip laba-laba besar muncul dan menembus tembok rumah.
Nyata! Di pusat tubuhnya, di mana harusnya ada perut dada dan kepala, hanya ada
sebuah bulatan mirip bola kasti.
Lampu pelita
memang agak suram, tapi makhluk itu terlihat cukup jelas. Ujung-ujung kakinya runcing,
berwarna coklat tua. Sementara bulatan di tengahnya berwarna lebih terang. Tak
terlihat ada mata di sana. Tetapi yang menakutkan, makhluk itu bergerak ke arah
saya. Kalau saja rupa dan warnanya tak menyeramkan, dan ukurannya tidak selebar
satu meter lebih, atau lengan-lengannya tak
berujung runcing, saya mungkin tak terlalu takut.
Spontan,
saya langsung teriak histeris. Ibu saya yang lebih dulu muncul dan menenangkan.
Saya lantas bercerita tentang makhluk seram itu. Uh, memalukan. Jadi laki-laki
kok takut. Tapi tak apa. Makhluk misterius itu pun akhirnya lenyap sendiri.
Terhitung,
dua kali saya teriak-teriak histeris malam-malam.
Melihat makhluk yang sama. Teriakan yang sama, tetapi yang kedua sudah tidak
lantang lagi karena saya sudah ‘kenalan’ dengan si makhluk. Sesudah beberapa
kali setelah itu, saya jadi cukup akrab dengan si makhluk. Yang saya tahu,
makhluk itu hanyalah sebentuk bayangan di mata saya. Saya simpulkan begitu
karena arah bergeraknya ternyata mengikuti ke mana otot mata saya membawanya.
Jadi, ketika ia muncul, saya siasati. Pandangan mata saya mengikuti arah
ekornya, sehingga ia tampak bergerak menjauh, bukan malah mendekat dan membuat
saya yang masih kanak-kanak ini ketakutan. Saya juga sempat pelajari, bahwa
makhluk itu muncul ketika ada cahaya suram yang datang dari arah kiri saya,
dengan posisi rata dengan posisi mata saya, yaitu cahaya lampu pelita ini.
Sampai kini
saya tidak lagi tinggal di kamar itu, karena pindah tinggal di asrama sekolah. Fenomena
yang sama tidak saya alami lagi.
Ada lagi
fenomena lain yang sempat saya pelajari, bahwa pola yang kita bayangkan
ternyata bisa membuat bayangan tampak nyata dan takkan hilang, bertahan hingga
beberapa menit. Ini saya alami pada suatu malam ketika saya ada bersama sekelompok
pemburu unggas liar. Malam itu, kami datangi target yang sudah kami tandai.
Burung murai hutan, yang biasanya minum sari bunga dari pohon dadap. Di hutan,
mereka tinggal berkelompok di satu pohon ketika malam tiba. Letak pohon inilah
yang jadi incaran kami. Kami naik di pohon lain yang lebih pendek di dekat pohon
tempat mangkal burung-burung itu.
Sembari
menunggu kedatangan rombongan unggas, sorotan mata saya mengarah ke sebuah
tempat yang sempat dimitoskan sebagai tempat keramat. Gelap di sana, dan
tampaknya lebih gelap dari lokasi lainnya. Jika bayangan daun-daun yang dipermainkan
angin tampak bergoyang di lokasi lain, di tempat itu semuanya tampak kaku dan
mati. Di gelap yang pekat itu, saya coba berimajinasi membentuk bayangan
makhluk-makhluk yang tidak biasa. Sosok tengkorak, sosok pria tua dengan wajah
asing dan badannya berbulu, dan sosok pria kecil memegang senjata dan lain-lain.
Saya coba susun sosok mereka dalam imajinasi saya di ruang gelap itu. Makhluk-makhluk
setan itu saya letakkan di sana.
Fantastis!
Dalam satu menit, sosok-sosok itu tampak nyata. Saya tutup mata saya, lalu buka
kembali. Mereka masih ada di sana. Saya alihkan pandangan ke tempat lain, lalu
melihat kembali ke sana. Mereka masih di sana, dengan wajah tegas mengarah ke kami.
Yah, cukup ketakutan juga. Tapi, saya lalu sibukkan pikiran saya dengan usaha
berburu kami dan tidak lagi menatap ke sana. Dalam setengah jam, bayangan itu
telah pudar.
Lalu, pernah
dengar kisah bola api? Benda bundar bercahaya yang terbang rendah malam-malam?
Saya pernah ikut kelompok olahraga pencak silat di kampung, yang salah satu
kegiatannya adalah latihan dan meditasi pada dini hari di tempat sepi.
Di sanalah
saya lihat benda seperti itu. Ragu-ragu juga. Apa ini yang dinamakan benda
langit, ataukah cuma bayangan tipuan mata? Kalau benda langit, kenapa
terbangnya begitu rendah, bahkan merendah hingga latar belakang bukit masih
lebih tinggi, yang artinya ia bukan lagi di langit latar belakang, tetapi sudah
sampai di dataran dekat kami.
Pernah sebanyak
tiga kali saya menyaksikan bola-bola cahaya ini. Ukurannya sangat besar.
Melintas langit yang kemudian cahayanya lenyap seketika, dalam jangka sekitar
tiga detik. Langit tiba-tiba tampak benderang, tapi sinar itu tak sampai
menerangi dataran tanah di sekitar kami.
Memang,
sampai kini, saya masih percaya bahwa itu lebih berupa benda langit. Bayangan
gelap di balik tadi yang saya kira bukit, mungkin saja adalah bayangan gelap
dari formasi awan yang letaknya lebih jauh ke belakang. Tapi saya masih
bertanya-tanya juga. Sebab benda langit semacam komet besar pun sering saya
lihat. Tapi tak sebesar bola-bola api ini yang tampak jauh lebih dekat.
Yah,
begitulah. Kita selalu dikelilingi peristiwa dan rupa-rupa interpretasinya.