Gambar: http://www.travelinsurancereview.net |
Pemberitahuan tugas yang ini datangnya memang tiba-tiba. Saya hanya tahu tentang tugas ini tanpa tahu kepastian waktunya sehingga tidak sempat
mengganti tugas jaga shift. Seorang teman sedang mengambil cuti sehingga
saya ganti tugasnya, masuk dalam shift operator. Andai saja saya tahu pasti tentang jadwal ini, maka tugas itu bisa saja saya alihkan saja ke teman lain. Toh, ini bukan
kewajiban, hanya tanggungjawab saja sebagai sesama karyawan.
Jam 8:00 tepat, dari
tempat kerja buru-buru ke mess. Makan, mandi, lalu bersiap jalan. Di Waiwerang, perahu
motor hanya ada di pukul 09.00. Sementaraa rekan dari Lembata yang sama tugasnya kini
telah meluncur dengan perahu cepat ke Larantuka. Jadi, mau tak mau saya harus
lekas menyusul. Lewat Tobilota saja.
Sempat ngobrol
dengan teman-teman operator Waibalun yang sengaja menjemput di pelabuhan
Larantuka, lalu meluncur ke mess dekat PLTD Waibalun. Karena memilih dengan
bis, maka roda dua saya lepas saja di mess yang ada ruang garasinya itu. Kami
harus jalan beberapa saat kemudian, jadi saya memilih tidur sejenak. Baru mau meletakkan kepala di atas bantal, teman yang dari Lembata langsung panggil. Bis-nya telah tiba.
Ternyata teman kami yang dari Waibalun berangkat dengan sepeda motor, lengkap dengan tas dan penampilan yang rapi. Apa isi tasnya, mungkin pakaian ganti dan juga laptop dan sejenisnya.
Teman Lembata saya juga tak kalah apik. Setelan rapi, juga tas jinjing.
Sementara saya? Uh periksa diri dulu. Boro-boro pakaian ganti, dompet saja saya
tidak bawa wkwkwkwk. Kan cuma semalam di sana, besoknya pulang juga. Begitu saya pikir.
Saya tidak tahu
banyak mengenai lama perjalanan ke Maumere. Tiga jam. Begitu jawaban teman
Lembata saya yang memang tahu lebih banyak tentang ‘luasnya dunia luar’ itu. Jadi saya
pikir sekitar jam 4 atau 5 kami baru akan tiba di kota itu.
Urusan pemandu
perjalanan ke sana saya kira bukan jadi urusan saya, soalnya saya masih baru.
Jadi, itu sudah tugasnya teman Lembata ini. Di bis saya duduk dekat seorang gadis,
mungkin anak sekolahan. Di belakang saya ada pasangan muda-mudi yang asyik
nonton tayangan film di ponsel. Film “Merantau” yang beberapa dialognya mungkin juga anda hafal. Kedengaran jelas suara mereka sehingga hanya dengan setengah menit dialog saya sendiri sudah tahu film
apa yang sedang diputar. Ingat adegan si kecil yang mencopet? “Fifty-fity”,
begitu kata adegan di dialog yang juga saya tiru saking hafalnya.
Melintasi jalan dari
Larantuka yang penuh kelok. Ada dataran Konga yang cukup memanjakan buat
kebut-kebutan. Tiba di Boru, bis berhenti. Semua penumpang mampir ke warung
makan. Wah, salah satu warung di sini memang sangat rapi, juga bersih. Saya
sadar ketika di perjalanan pulang dan sempat minum teh di situ. Belum pernah saya masuk
warung yang sebersih dan seapik ini, kecuali tentu saja rumah makan yang agak
besar.
Perbatasan Sikka
memang dekat saja ternyata. Di Hikong telah masuk Sikka. Jalan ke sana lagi di
vermag habis-habisan oleh belasan alat berat. Menuju perbatasan, jalan sangat
lebar. Langsung menuju bagian barat kota, di lokasi PLM alias PLTD-nya Maumere
di Wolomarang, Wailiti. Lokasi-lokasi itu tidak cukup asing sebenarnya walau
baru saya kunjungi secara fisik. Terima kasih banyak sajalah kepada layanan
peta online di internet yang menayangkan foto-foto satelit dari lokasi ini.
Gambaran umum kota Maumere memang dapat disimak senti demi senti di layar
computer. Gadget kini memang sudah makin canggih.
Santai sejenak di
mess, lalu datang kabar lewat telepon bahwa para pembesar Jakarta mengajak
makan-makan di sebuah rumah makan dekat bandara. Asyik, ikan bakar ternyata.
Duduk di ruangan VIP, yang disipkan khusus sebagai tempat pertemuan. Presentasi
singkat marathon selama tiga jam dalam suasana santai, diselingi makan. Singkat
saja. Pulang, tidur di mess. Sebelumnya sempat mengambil sejumlah perlengkapan
karyawan di hotel Sylvia. Para boss memang menginap di sana.
Pulang, melotot ke
jam, waduh, sudah jam sebelas. Berarti, tinggal sejam lagi total jendral saya
telah sehari penuh tidak tidur. Jadi, tiba di sana, langsung banting diri di
atas kasur. Lelap, setelah berjuang melawan pusing-pusing sedikit (manja kayak
cewek!) karena sudah 23 jam ini tidak tidur. Sementara itu teman operator
Maumere kami duduk cerita lepas kangen dengan Boss Jakarta yang datang, di Mess
saja. Sambil meladeni minuman khas ala Maumere.
Pulang Larantuka hari ini, bis berhenti karena seret jalannya. Huh, ternyata bocor bannya digembosi oleh baut kap bodi sepeda motor. Digilas di sekitar alur ban, ujung rata baut seukuran hampir setengah senti itu ternyata bisa merobek ban dalam. Ganti ban di depan sebuah bengkel motor, hampir setengah jam berhenti di situ. Turun sebentar ganti hawa mobil yang panas.
Esoknya, baru saya tahu kalau lokasi gembosnya ban bis ternyata di depan rumah seorang keluarga juga. Istrinya adalah bibi saya, yang artinya saya punya paman juga di Maumere. Ingat-ingat, dulu di Kupang kami sempat akrab. Bahkan dia sempat ajak saya ikut kerjaannya dia. Tapi karena tempat kerja saya bayarannya lebih bagus, dia sempat sehari ikut saya sebelum akhirnya kembali ke bengkel kayu tempatnya semula kerja. Sesama perantau memang lebih mudah akrab di rantau ketimbang kalau sudah kembali ke kampung halaman masing-masing. Sayangnya, saya tidak tahu di mana tepatnya ia punya rumah di Maumere sini. Padahal kemarin sempat putar-putar sedikit, ke dua lokasi di luar kota Maumere, yaitu di rumah teman karyawan.
Cuma sehari itu, dan memang tak diduga. Padahal kalau ke sana kan pasti tidak afdol jika tidak jalan-jalan ke bukit yang ada patung Bunda Maria, juga ke Gramedia ataupun toko penerbit Ledalero. Tak apalah, cukup habiskan waktu dengan sebuah buku Pater Paul Budi milik teman Maumere ini. Ada kutipan bagus di sana. “Di dalam penderitaan tidak ada keindahan. Justru kesenianlah yang menjadi gudang arsip paling bertahan bagi penderitaan.”
Pulang Larantuka hari ini, bis berhenti karena seret jalannya. Huh, ternyata bocor bannya digembosi oleh baut kap bodi sepeda motor. Digilas di sekitar alur ban, ujung rata baut seukuran hampir setengah senti itu ternyata bisa merobek ban dalam. Ganti ban di depan sebuah bengkel motor, hampir setengah jam berhenti di situ. Turun sebentar ganti hawa mobil yang panas.
Esoknya, baru saya tahu kalau lokasi gembosnya ban bis ternyata di depan rumah seorang keluarga juga. Istrinya adalah bibi saya, yang artinya saya punya paman juga di Maumere. Ingat-ingat, dulu di Kupang kami sempat akrab. Bahkan dia sempat ajak saya ikut kerjaannya dia. Tapi karena tempat kerja saya bayarannya lebih bagus, dia sempat sehari ikut saya sebelum akhirnya kembali ke bengkel kayu tempatnya semula kerja. Sesama perantau memang lebih mudah akrab di rantau ketimbang kalau sudah kembali ke kampung halaman masing-masing. Sayangnya, saya tidak tahu di mana tepatnya ia punya rumah di Maumere sini. Padahal kemarin sempat putar-putar sedikit, ke dua lokasi di luar kota Maumere, yaitu di rumah teman karyawan.
Cuma sehari itu, dan memang tak diduga. Padahal kalau ke sana kan pasti tidak afdol jika tidak jalan-jalan ke bukit yang ada patung Bunda Maria, juga ke Gramedia ataupun toko penerbit Ledalero. Tak apalah, cukup habiskan waktu dengan sebuah buku Pater Paul Budi milik teman Maumere ini. Ada kutipan bagus di sana. “Di dalam penderitaan tidak ada keindahan. Justru kesenianlah yang menjadi gudang arsip paling bertahan bagi penderitaan.”