Ngobrol kemarin, cerita-cerita tentang Muatan Lokal.
Entah darimana asal-usul obrolan ini muncul. Mungkin dari cerita Pak Oman tentang bahasa daerah sebagai muatan lokal. Ini nih salah satu pelajaran
di SMP dan SMA.
Saya cerita, sering guru-guru punya improfisasi sendiri
dengan materi muatan lokal ini. Ini terjadi karena tampaknya tak ada kurikulum yang
rinci tentang apa-apa saja yang mesti diajarkan, tetapi dikembalikan kepada
kebijakan di tempat masing-masing.
Di sekolah saya dulu, di
paruh pertama diajarkan tentang pertanian*). Karena memang
diwajibkan menghafal, saya cukup tahu banyak tentang nama-nama latin dari
sejumlah besar tanaman-tanaman, yang juga saya perlajari sepintas di biologi. Di
paruh berikutnya, saya banyak belajar (lebih tepatnya: diajar) tentang tenun
dan demografi penduduk lokal. Dan paruh berikutnya lagi, diajari tentang
sejumlah sejarah lokal.
Hal-hal di atas jadi kurang penting ketika saya beranjak gede, karena saya akhirnya kuliah teknik mesin dan kini kerja
di bidang teknik juga. Saya tentu saja kecewa, andaikata di jaman SMP dan SMA kala
itu saya mempelajari hal-hal yang mendukung pengetahuan saya tentang mesin
nantinya, tentu saya lebih siap dan mungkin jauh lebih ahli di bidang mesin.
Tetapi saya maklumi bahwa improfisasi si guru mulok pasti
ada alasannya, yaitu ketersediaan bahan ajar yang mempengaruhi keputusan guru
bersangkutan. Waktu itu, memang pernah tersedia buku teks mulok standar oleh
pemerintah, yang isinya hanya merangkum beberapa penelitian demografi NTT dan
inventaris sejumlah produk tenun dan sejarah lokal tiap kabupaten**). Sementara untuk
pertanian dan sejarah, itu karena ada kedua buku tersebut tersedia. Sungguh
prihatin, bahwa dalam ujian akhir mulok, faktor hafalan pun masuk dalam kriteria
kelulusan alias masuk dalam soal ujian. Bayangkan, angka-angka besar jumlah
penduduk sebuah kabupaten ditanyakan dalam beberapa butir soal.
Pak Oman cerita bahwa di sejumlah kelas mereka, muatan lokal mengajarakan
tentang peternakan unggas, hal yang sama yang diajarkan di jurusan peternakan
di sekolah menengah kejuruan pertanian di Lewoleba.
Tapi, pentingnya mempertahankan muatan lokal cukup urgen
juga. Saya majukan alasan bahwa tanpa itu, maka bahasa daerah kita bisa saja
hilang. Dalam beberapa tahun ke depan, bahasa lamaholot jika tidak diajarkan
bisa lenyap. Alasan ini banyak dimunculkan oleh banyak peneliti dan dalam
seminar yang juga pernah saya ikuti.
Alasan ini cukup mengada-ada memang kalau diteriakan di ranah populer. Kita tahu, sejarah dan bahasa lokal kita
justru banyak didokumentasikan oleh orang lain, bukan oleh ‘orang kita’ sendiri
alias penduduk setempat. Tentu demi kepentingan masing-masing, misalnya untuk
penerjemahan teks-teks agama, maupun kepentingan kemajuan ilmu antropolog di
fakultas-fakultas universitas tertentu.
Selain itu, pendidikan tidak mesti mengambil konteks
sempit seperti ini, tetapi memakai metode ilmiah yang umum. Misalnya saja, pengajaran
tentang bahasa daerah dapat dimulai dengan studi tentang bahasa daerah yang
dilakukan oleh fakultas-fakultas ilmu bahasa, dan kalau ahli di bidang itu
cukup banyak, maka bisa disusun kurikulum standarnya. Jika memang dapat
diterima secara ilmiah, tentu akan bisa dipelajari oleh orang lain, bukan hanya
oleh anak-anak sekolah menengah, tetapi juga ke perguruan tinggi yang mengambil
spesialisasi tersebut. Tetapi jika melepaskan
tanggungjawab itu kepada guru SMA, tanpa ada arahan yang cukup dari buku-buku
teks ilmiah yang memadai, maka hanya akan timbul kekacauan karena masing-masing
mengajar sesuai dengan selera, interpretasi, dan improvisasi mereka. Dan
akhirnya, tiap tiap sekolah menanamkan ilmu yang berbeda-beda di tiap kepala
siswanya, hal yang patut disayangkan di tingkat pendidikan selanjutnya.
Tentang pengetahuan bahasa, cukup urgen juga. Jika di
sekolah-sekolah dulu, sering bahasa latin dimasukkan dalam pelajaran di samping
bahasa lain. Bahkan sekolah-sekolah ternama selalu memasukkan bahasa latin ini.
Juga beberapa bahasa asing lain. Memang, kemampuan bahasa mempengaruhi juga
penggunaan bagian otak kita yang berurusan dengan bahasa, tidak hanya di
belahan yang sama yang berurusan dengan logika.
Tentang bahasa daerah lamaholot misalnya, rujukan materi
yang akan diajarkan bisa cukup diandalkan karena kita telah punya kamus
lamaholot. Kamus itu bisa jadi rujukan sebagai sebuah standarisasi. Tak pelak,
kamus yang penyusunnya lebih menjurus ke logat ‘jalan bawah’ pun mesti
disiasati dengan melengkapinya dengan logat lain. Dan kalaupun tidak, ini harus
dijadikan sebagai logat standar. Ini akan lebih memudahkan kita untuk berbahasa
lamaholot ‘standar’ dan bisa kita pakai untuk berbicara bahasa lamaholot dengan
penutur dari aksen manapun. Standar ini tidak berpretensi untuk menggilas aksen
lain. Tapi aksen lain pun bisa diakomodasi keberadaan mereka. Yang jelas, harus
ada standar tertentu tentang bahasa lamaholot ‘resmi’.
Sama saja misalnya, meski sama-sama bahasa melayu, orang Larantuka
boleh bicara bahasa melayu mereka, tetapi mereka harus pakai bahasa Indonesia
standar dalam konteks percakapan yang lebih resmi.
Kembali ke awal tadi, justru mengembalikan pengajaran
muatan lokal ke kondisi lokal masing-masing bisa memancing permasalahan.
Sepertinya dilegitimasi adanya pengkapling-kaplingan (meminjam istilah Thamrin
Amal Tamagola) antar satu daerah dengan daerah lainnya dalam kegiatan ilmiah
berupa pengajaran. Mengkapling dengan kategori geografis ini bersiko
menyebabkan disintegrasi. Alih-alih kita menuju satu Indonesia, kita justru
mulai mengajarkan tentang memulai pengkotak-kotakkan siswa SMA menurut daerah
mereka dengan membiarkan mereka hanya memperlajari sesuatu tentang daerah
mereka sendiri. Seperti misalnya, orang NTT mempelajari tenun NTT, sejarah NTT,
demografi NTT dll. Di lain pihak, orang Banten mempelajari tenun Banten,
sejarah Banten, demografi Banten, dll. Padahal, kegiatan belajar anak-anak
mesti lepas dari katergori geografis seperti itu, supaya siswa tidak terpenjara
dalam tembok geografis sempit.
Ini juga cukup bertentangan dengan kondisi bisnis jika
menyangkut buku-buku. Kita tahu, pemerintah boleh menyediakan kurikulum dan
buku-buku standar. Tetapi buku-buku rujukan lain mesti dipersilahkan untuk
ditulis dan dijual. Seandainya orang NTT hanya belajar tentang sejarah NTT,
maka buku-buku tentang sejarah NTT hanya sedikit yang terjual karena hanya
dibeli oleh orang NTT, tidak laku di luar daerah. Siapa yang mau menulis buku
kalau oplah dan angka penjualannya hanya sedikit?
*)
Ngobrolnya berempat, empat-empatnya masih ijasah ‘S1’.
**) Mungkin
alasannya karena daerah kami daerah pertanian.
***)Padahal secara nalar awam kita tahu bahwa motif produk tenun sebenarnya tidak
dibatasi oleh batasan ‘administratif
pemerintahan terbaru’ alias kabupaten di jaman kemerdekaan,
melainkan tergantung dari adanya suku-suku yang bersangkutan dengan catatan
sejarah yang lebih lama.