Rabu, 09 Januari 2013

Muatan Lokal: langkah maju yang tak selalu bebas persoalan



 Ngobrol kemarin, cerita-cerita tentang Muatan Lokal. Entah darimana asal-usul obrolan ini muncul. Mungkin dari cerita Pak Oman tentang bahasa daerah sebagai muatan lokal. Ini nih salah satu pelajaran di SMP dan SMA.
Saya cerita, sering guru-guru punya improfisasi sendiri dengan materi muatan lokal ini. Ini terjadi karena tampaknya tak ada kurikulum yang rinci tentang apa-apa saja yang mesti diajarkan, tetapi dikembalikan kepada kebijakan di tempat masing-masing.
Di sekolah saya dulu, di paruh pertama diajarkan tentang pertanian*). Karena memang diwajibkan menghafal, saya cukup tahu banyak tentang nama-nama latin dari sejumlah besar tanaman-tanaman, yang juga saya perlajari sepintas di biologi. Di paruh berikutnya, saya banyak belajar (lebih tepatnya: diajar) tentang tenun dan demografi penduduk lokal. Dan paruh berikutnya lagi, diajari tentang sejumlah sejarah lokal.
Hal-hal di atas jadi kurang penting ketika saya beranjak gede, karena saya akhirnya kuliah teknik mesin dan kini kerja di bidang teknik juga. Saya tentu saja kecewa, andaikata di jaman SMP dan SMA kala itu saya mempelajari hal-hal yang mendukung pengetahuan saya tentang mesin nantinya, tentu saya lebih siap dan mungkin jauh lebih ahli di bidang mesin.
Tetapi saya maklumi bahwa improfisasi si guru mulok pasti ada alasannya, yaitu ketersediaan bahan ajar yang mempengaruhi keputusan guru bersangkutan. Waktu itu, memang pernah tersedia buku teks mulok standar oleh pemerintah, yang isinya hanya merangkum beberapa penelitian demografi NTT dan inventaris sejumlah produk tenun dan sejarah lokal tiap kabupaten**). Sementara untuk pertanian dan sejarah, itu karena ada kedua buku tersebut tersedia. Sungguh prihatin, bahwa dalam ujian akhir mulok, faktor hafalan pun masuk dalam kriteria kelulusan alias masuk dalam soal ujian. Bayangkan, angka-angka besar jumlah penduduk sebuah kabupaten ditanyakan dalam beberapa butir soal.
Pak Oman cerita bahwa di sejumlah  kelas mereka, muatan lokal mengajarakan tentang peternakan unggas, hal yang sama yang diajarkan di jurusan peternakan di sekolah menengah kejuruan pertanian di Lewoleba.
Tapi, pentingnya mempertahankan muatan lokal cukup urgen juga. Saya majukan alasan bahwa tanpa itu, maka bahasa daerah kita bisa saja hilang. Dalam beberapa tahun ke depan, bahasa lamaholot jika tidak diajarkan bisa lenyap. Alasan ini banyak dimunculkan oleh banyak peneliti dan dalam seminar yang juga pernah saya ikuti.
Alasan ini cukup mengada-ada memang kalau diteriakan di ranah populer. Kita tahu, sejarah dan bahasa lokal kita justru banyak didokumentasikan oleh orang lain, bukan oleh ‘orang kita’ sendiri alias penduduk setempat. Tentu demi kepentingan masing-masing, misalnya untuk penerjemahan teks-teks agama, maupun kepentingan kemajuan ilmu antropolog di fakultas-fakultas universitas tertentu.
Selain itu, pendidikan tidak mesti mengambil konteks sempit seperti ini, tetapi memakai metode ilmiah yang umum. Misalnya saja, pengajaran tentang bahasa daerah dapat dimulai dengan studi tentang bahasa daerah yang dilakukan oleh fakultas-fakultas ilmu bahasa, dan kalau ahli di bidang itu cukup banyak, maka bisa disusun kurikulum standarnya. Jika memang dapat diterima secara ilmiah, tentu akan bisa dipelajari oleh orang lain, bukan hanya oleh anak-anak sekolah menengah, tetapi juga ke perguruan tinggi yang mengambil spesialisasi tersebut. Tetapi jika melepaskan tanggungjawab itu kepada guru SMA, tanpa ada arahan yang cukup dari buku-buku teks ilmiah yang memadai, maka hanya akan timbul kekacauan karena masing-masing mengajar sesuai dengan selera, interpretasi, dan improvisasi mereka. Dan akhirnya, tiap tiap sekolah menanamkan ilmu yang berbeda-beda di tiap kepala siswanya, hal yang patut disayangkan di tingkat pendidikan selanjutnya.
Tentang pengetahuan bahasa, cukup urgen juga. Jika di sekolah-sekolah dulu, sering bahasa latin dimasukkan dalam pelajaran di samping bahasa lain. Bahkan sekolah-sekolah ternama selalu memasukkan bahasa latin ini. Juga beberapa bahasa asing lain. Memang, kemampuan bahasa mempengaruhi juga penggunaan bagian otak kita yang berurusan dengan bahasa, tidak hanya di belahan yang sama yang berurusan dengan logika.
Tentang bahasa daerah lamaholot misalnya, rujukan materi yang akan diajarkan bisa cukup diandalkan karena kita telah punya kamus lamaholot. Kamus itu bisa jadi rujukan sebagai sebuah standarisasi. Tak pelak, kamus yang penyusunnya lebih menjurus ke logat ‘jalan bawah’ pun mesti disiasati dengan melengkapinya dengan logat lain. Dan kalaupun tidak, ini harus dijadikan sebagai logat standar. Ini akan lebih memudahkan kita untuk berbahasa lamaholot ‘standar’ dan bisa kita pakai untuk berbicara bahasa lamaholot dengan penutur dari aksen manapun. Standar ini tidak berpretensi untuk menggilas aksen lain. Tapi aksen lain pun bisa diakomodasi keberadaan mereka. Yang jelas, harus ada standar tertentu tentang bahasa lamaholot ‘resmi’.
Sama saja misalnya, meski sama-sama bahasa melayu, orang Larantuka boleh bicara bahasa melayu mereka, tetapi mereka harus pakai bahasa Indonesia standar dalam konteks percakapan yang lebih resmi.
Kembali ke awal tadi, justru mengembalikan pengajaran muatan lokal ke kondisi lokal masing-masing bisa memancing permasalahan. Sepertinya dilegitimasi adanya pengkapling-kaplingan (meminjam istilah Thamrin Amal Tamagola) antar satu daerah dengan daerah lainnya dalam kegiatan ilmiah berupa pengajaran. Mengkapling dengan kategori geografis ini bersiko menyebabkan disintegrasi. Alih-alih kita menuju satu Indonesia, kita justru mulai mengajarkan tentang memulai pengkotak-kotakkan siswa SMA menurut daerah mereka dengan membiarkan mereka hanya memperlajari sesuatu tentang daerah mereka sendiri. Seperti misalnya, orang NTT mempelajari tenun NTT, sejarah NTT, demografi NTT dll. Di lain pihak, orang Banten mempelajari tenun Banten, sejarah Banten, demografi Banten, dll. Padahal, kegiatan belajar anak-anak mesti lepas dari katergori geografis seperti itu, supaya siswa tidak terpenjara dalam tembok geografis sempit.
Ini juga cukup bertentangan dengan kondisi bisnis jika menyangkut buku-buku. Kita tahu, pemerintah boleh menyediakan kurikulum dan buku-buku standar. Tetapi buku-buku rujukan lain mesti dipersilahkan untuk ditulis dan dijual. Seandainya orang NTT hanya belajar tentang sejarah NTT, maka buku-buku tentang sejarah NTT hanya sedikit yang terjual karena hanya dibeli oleh orang NTT, tidak laku di luar daerah. Siapa yang mau menulis buku kalau oplah dan angka penjualannya hanya sedikit?

*) Ngobrolnya berempat, empat-empatnya masih ijasah ‘S1’.
**) Mungkin alasannya karena daerah kami daerah pertanian.
***)Padahal secara nalar awam kita tahu bahwa motif produk tenun sebenarnya tidak dibatasi  oleh batasan ‘administratif pemerintahan terbaru’ alias kabupaten di jaman kemerdekaan, melainkan tergantung dari adanya suku-suku yang bersangkutan dengan catatan sejarah yang lebih lama.
Comments
1 Comments

1 komentar:

Jappy FanggidaE mengatakan...

Salam Blogger,
saya tertarik dengan tulisan ini, khususnya pada pertanyaan (retorika?) di akhir tulisan anda, ada baiknya langsung saya kutip di sini, "maka buku-buku tentang sejarah NTT hanya sedikit yang terjual karena hanya dibeli oleh orang NTT, tidak laku di luar daerah. Siapa yang mau menulis buku kalau oplah dan angka penjualannya hanya sedikit?"
Sebenarnya almarhum kedua orang tua saya sejak tahun 1994 telah menulis Buku Mulok untuk Sekolah Dasar dan hingga saat ini saya masih melanjutkan kegiatan menulis tersebut untuk perbaikan. Pada awalnya buku-buku tersebut ditulis untuk kepentingan proyek pemerintah namun saat ini saya lebih mengembangkannya ke arah bisnis murni, artinya saya cetak sendiri dan berharap dapat terjual di pasaran. Harus saya akui, bisnis ini bukanlah bisnis yang sangat menguntungkan karena keterbatasan dalam segi permodalan, pemasaran dan faktor eksternal seperti perilaku kurang menghargai hasil karya orang lain (banyak guru SD yang memfotocopy buku tersebut dan menjualnya secara sepihak kepada murid). Namun saya memberanikan diri untuk terus menjalani bisnis ini karena saya sangat menghargai apa yang telah diinisiasi oleh almarhum kedua orang tua saya. Ke depannya saya akan berusaha lebih baik agar semua anak SD di NTT dapat memiliki pemahaman yang lebih luas terhadap sejarah, adat istiadat, kebudayaan dan demografi NTT dan lebih dari itu, bangga sebagai warga NTT. Jika pada jaman saya sekolah dulu, saya lebih tahu Pangeran Diponegoro daripada Adi Tukan, sekarang saatnya anak-anak NTT lebih mengenal pahlawan-pahlawan nasional dari daerahnya sendiri daripada pahlawan-pahlawan dari daerah lain.
Wasalam