Jumat, 18 Januari 2013

Pulau Pembunuh: Dilema Hipnosa Publikasi Ilmiah*)


Gambar: www.primitivearcher.com
Boleh jadi kita meremehkan publikasi ilmiah, tetapi publikasi jenis ini banyak dijadikan rujukan ‘terhormat’. Frase ‘pulau pembunuh’ misalnya yang muncul dan dipublikasikan pada awal abad lalu, kini seperti telah masuk dalam relung pengalaman kita, kadang secara tidak terduga. Hal ini terjadi lantaran ide tersebut terus dugulirkan, baik secara ilmiah, maupun secara populer. Dan duplikasi ide ini terus berlangsung baik secara tertulis maupun lisan.  
Kenapa demikian? Pasti ada beragam jawabannya, tapi saya punya satu alasan bahwa hal tersebut terjadi karena ia muncul dari mimbar ilmiah alias dari tulisan seorang ilmuwan. Beda kalau frase ini diucapkan oleh seorang tokoh adat, mungkin hanya orang sekampung atau satu klan yang menjadikan kata ini masuk dalam penghayatan keseharian mereka. Tetapi karena ditelurkan secara ilmiah, frase ini berlaku dan dipercayai bahkan di seluruh ‘dunia’.
Pernah ketika masih berstatus pelajar, saya sempat live in dua bulan di pulau Rote. Dari antara teman-teman lainnya, hanya saya yang lahir dan dibesarkan di Flores. Ketika berkenalan, saya mengatakan Adonara sebagai daerah asal saya.
“Pulau PEMBUNUH.” Demikian salah seorang warga setempat mengutip sebuah frase populer. Tersentak, karena saya sudah berencana mati-matian untuk tanamkan kesan bahwa saya adalah seperti manusia ramah manapun yang mendukung segenap kehidupan ciptaan Tuhan. Tidak pantas dilekatkan istilah ‘pembunuh’ sebagai embel-embel kepada saya.
“Benar sekali. Saya berusaha MEMBUNUH rasa segan di antara kita, sehingga kita bisa menjadi saudara”, kata saya mencairkan suasana.
Lihatlah, di tempat di mana saya rasa aman untuk menyembunyikan wajah sebagai ‘pembunuh’, tetap saja tidak bisa melakukannya dengan berhasil. Justru di sinilah kita merasakan kuatnya daya pengaruh publikasi ilmiah. Ia tidak hanya muncul di ruang-ruang fakultas atau seminar-seminar kalangan terbatas. Ia juga muncul di tempat-tempat yang bahkan tidak anda duga, sampai di pelosok-pelosok manapun.
Memang, pada jaman tertentu, kegiatan membunuh dikaitkan erat dengan keberanian. Dan keberanian ini diberi imbalan yang setimpal. Muncullah para prajurit-prajurit gagah berani dari berbagai tempat pada jaman dulu yang dimobilisasi ke pulau-pulau yang jauh untuk berperang. Mereka tidak hanya menunjukkan keberanian kosong. Mereka diberi imbalan, baik berupa simbol-simbol dan gelar, juga dengan materi berupa uang atau hadiah berupa sebidang tanah, dan lain-lain. Ini tentu bisa jadi kebanggaan bagi masyarakat asalnya dan juga anak-cucu kelak. Tetapi kini, jaman unjuk keberanian dengan cara seperti itu telah jauh lewat. Ada deklarasi HAM dan hukum-hukum yang mengaturnya, dan ada aparat represif yang siap menghadang.
…………………
Cerita singkat di atas lalu saya jadikan pertimbangan untuk memunculkan kesadaran tentang bagaimana publikasi ilmiah punya daya pengaruh. Publikasi ini memang punya daya resap yang sangat kuat dalam kesadaran pribadi maupun kolektif kita. Frase di atas, yang diciptakan dari masa beberapa dasawarsa lalu faktanya telah menjalar ke dalam pemikiran dan kesadaran banyak orang. Orang lantas mengira bahwa frase ini adalah sebuah fakta, bukan sekadar sebuah penilaian dari seorang penulis tentang fakta yang ada pada suatu kurun waktu tertentu. Dan frase ini pun muncul dengan alasan-alasan tertentu yang sangat manusiawi, bukan sebuah kebenaran dari pihak super-human.
Seandainya saja, seorang antropolog lain mengadakan studi dan membahas tentang  konteks dan alasan munculnya tulisan dan istilah tersebut sebagai pengimbang alias counter issue, mungkin keadaannya jadi berbeda. Di sana bisa diyakinkan bahwa ada alasan bagi si Vatter untuk menulis tentang pulau pembunuh ini. Memang, secara nalar awam kita sadari bahwa apa yang ditulisnya tentu ada alasannya juga. Mungkin juga dengan bias-bias tertentu.
Tetapi jika ide ini lebih lanjut tidak digulirkan lagi dari sudut pandang lain, tetapi menjadikannya sebagai ide final, maka ide ini beresiko akan dipercayai sebagai fakta. Pulau pembunuh dianggap sebagai fakta, bukan sebagai ide dari seorang peninjau dari barat sana, yang menulis dalam konteks dan paradigma tertentu.
Lalu, frase ini pun akhirnya bisa punya daya hipnotis. Kadang manifestasinya positif, misalnya memberikan dorongan keberanian dan kekuatan bertahan terhadap musuh. Tetapi kadang pula negatif, mendorong munculnya nafsu destruktif.
Dengan adanya publikasi ‘pengimbang’, kita bisa punya harapan positif, bahwa orang akan mengerti kita sebagai manusia yang mencintai kehidupan, dan berjuang segenap tenaga untuk mewujudkannya.

*) saya tulis ini sebagai ide dari sejumlah obrolan dengan beberapa teman.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: