Gambar: www.primitivearcher.com |
Boleh jadi kita meremehkan publikasi ilmiah, tetapi
publikasi jenis ini banyak dijadikan rujukan ‘terhormat’. Frase ‘pulau
pembunuh’ misalnya yang muncul dan dipublikasikan pada awal abad lalu, kini
seperti telah masuk dalam relung pengalaman kita, kadang secara tidak terduga.
Hal ini terjadi lantaran ide tersebut terus dugulirkan, baik secara ilmiah,
maupun secara populer. Dan duplikasi ide ini terus berlangsung baik secara
tertulis maupun lisan.
Kenapa demikian? Pasti ada beragam jawabannya, tapi saya
punya satu alasan bahwa hal tersebut terjadi karena ia muncul dari mimbar ilmiah
alias dari tulisan seorang ilmuwan. Beda kalau frase ini diucapkan oleh seorang
tokoh adat, mungkin hanya orang sekampung atau satu klan yang menjadikan kata
ini masuk dalam penghayatan keseharian mereka. Tetapi karena ditelurkan secara
ilmiah, frase ini berlaku dan dipercayai bahkan di seluruh ‘dunia’.
Pernah ketika masih berstatus pelajar, saya sempat live
in dua bulan di pulau Rote. Dari antara teman-teman lainnya, hanya saya yang
lahir dan dibesarkan di Flores. Ketika berkenalan, saya mengatakan Adonara
sebagai daerah asal saya.
“Pulau PEMBUNUH.” Demikian salah seorang warga setempat
mengutip sebuah frase populer. Tersentak, karena saya sudah berencana
mati-matian untuk tanamkan kesan bahwa saya adalah seperti manusia ramah
manapun yang mendukung segenap kehidupan ciptaan Tuhan. Tidak pantas dilekatkan
istilah ‘pembunuh’ sebagai embel-embel kepada saya.
“Benar sekali. Saya berusaha MEMBUNUH rasa segan di
antara kita, sehingga kita bisa menjadi saudara”, kata saya mencairkan suasana.
Lihatlah, di tempat di mana saya rasa aman untuk
menyembunyikan wajah sebagai ‘pembunuh’, tetap saja tidak bisa melakukannya
dengan berhasil. Justru di sinilah kita merasakan kuatnya daya pengaruh
publikasi ilmiah. Ia tidak hanya muncul di ruang-ruang fakultas atau
seminar-seminar kalangan terbatas. Ia juga muncul di tempat-tempat yang bahkan
tidak anda duga, sampai di pelosok-pelosok manapun.
Memang, pada jaman tertentu, kegiatan membunuh dikaitkan
erat dengan keberanian. Dan keberanian ini diberi imbalan yang setimpal.
Muncullah para prajurit-prajurit gagah berani dari berbagai tempat pada jaman
dulu yang dimobilisasi ke pulau-pulau yang jauh untuk berperang. Mereka tidak
hanya menunjukkan keberanian kosong. Mereka diberi imbalan, baik berupa simbol-simbol
dan gelar, juga dengan materi berupa uang atau hadiah berupa sebidang tanah,
dan lain-lain. Ini tentu bisa jadi kebanggaan bagi masyarakat asalnya dan juga
anak-cucu kelak. Tetapi kini, jaman unjuk keberanian dengan cara seperti itu
telah jauh lewat. Ada deklarasi HAM dan hukum-hukum yang mengaturnya, dan ada
aparat represif yang siap menghadang.
…………………
Cerita singkat di atas lalu saya jadikan pertimbangan
untuk memunculkan kesadaran tentang bagaimana publikasi ilmiah punya daya
pengaruh. Publikasi ini memang punya daya resap yang sangat kuat dalam
kesadaran pribadi maupun kolektif kita. Frase di atas, yang diciptakan dari
masa beberapa dasawarsa lalu faktanya telah menjalar ke dalam pemikiran dan
kesadaran banyak orang. Orang lantas mengira bahwa frase ini adalah sebuah
fakta, bukan sekadar sebuah penilaian dari seorang penulis tentang fakta yang
ada pada suatu kurun waktu tertentu. Dan frase ini pun muncul dengan
alasan-alasan tertentu yang sangat manusiawi, bukan sebuah kebenaran dari pihak
super-human.
Seandainya saja, seorang antropolog lain mengadakan studi
dan membahas tentang konteks dan alasan
munculnya tulisan dan istilah tersebut sebagai pengimbang alias counter issue,
mungkin keadaannya jadi berbeda. Di sana bisa diyakinkan bahwa ada alasan bagi
si Vatter untuk menulis tentang pulau pembunuh ini. Memang, secara nalar awam
kita sadari bahwa apa yang ditulisnya tentu ada alasannya juga. Mungkin juga
dengan bias-bias tertentu.
Tetapi jika ide ini lebih lanjut tidak digulirkan lagi
dari sudut pandang lain, tetapi menjadikannya sebagai ide final, maka ide ini
beresiko akan dipercayai sebagai fakta. Pulau pembunuh dianggap sebagai fakta,
bukan sebagai ide dari seorang peninjau dari barat sana, yang menulis dalam
konteks dan paradigma tertentu.
Lalu, frase ini pun akhirnya bisa punya daya hipnotis.
Kadang manifestasinya positif, misalnya memberikan dorongan keberanian dan
kekuatan bertahan terhadap musuh. Tetapi kadang pula negatif, mendorong
munculnya nafsu destruktif.
Dengan adanya publikasi ‘pengimbang’, kita bisa punya
harapan positif, bahwa orang akan mengerti kita sebagai manusia yang mencintai
kehidupan, dan berjuang segenap tenaga untuk mewujudkannya.
*) saya tulis ini sebagai ide dari sejumlah obrolan
dengan beberapa teman.