Ini adalah sebuah film keluarga, bercerita tentang
perjuangan mempersatukan kembali sebuah keluarga yang pecah oleh situasi
politik Timor-Timur pasca jajak pendapat.
Kehilangan demi kehilangan anggota keluarga adalah hal
yang tidak diinginkan siapapun. Di tempat tinggal yang baru, banyak anggota
keluarga yang terpisah. Di Atambua, Karlo (Yehuda Rumbindi), seorang pelajar SD
telah ditinggal ayahnya yang mati karena perang, kini ditinggal lagi oleh
ibunya karena penyakit biasa tapi tak segera diobati. Juga Ahmad (Asrul Dahlan)
yang baru seminggu menikah terpaksa berpisah dari sang istri karena pilihan
politik. Tatiana
(Alessandra Gottardo), Si Guru SD yang jadi single parent, telah berpisah
dengan Mauro yang tetap bertahan di perbatasan.
Cerita mengalir dengan sungguh menarik, dengan berintikan
pada usaha gadis kecil Merry (Griffit Patricia) putri Tatiana yang ingin menemui
saudaranya: Mauro, di perjalanan jauh lintas kabupaten, dari Timor Tengah ke
perbatasan di Atambua. Watak keras kepala si gadis kecil ini sungguh terasa. Ia
pergi tanpa pamit dari ibunya, hanya berbekal beberapa rupiah uang tabungan.
Tanpa bekal apapun kecuali sebotol air mineral dan beberapa potong coklat pemberian
Ci Iren (Thessa Kaunang) si pemilik toko. Lagipula, arah perjalanan belum ia
ketahui. Ia bahkan nekad berjalan kaki hingga kedapatan pingsan di jalanan.
Beruntunglah, ada pertolongan dari Karlo, teman sekelasnya, yang sebenarnya suka
menjahilinya. Karlo diperintah Ahmad, bapak angkatnya untuk menyusul si gadis
dan membantunya di perjalanan. Keberanian ini sungguh memperkuat kepercayaan
atas kemurahan alam Timor yang memberi kehidupan, serta kebaikan penduduk untuk
siap saling membantu.
Ada yang berkesan dari pengakuan jujur si gadis kecil ini.
Ia takut kehilangan ibunya karena penyakit, sama seperti Karlo yang juga pernah
kehilangan ibunya karena penyakit yang sama. Dengan alasan ketakutan itu, si
gadis berpendapat bahwa ia harus bertemu dengan satu-satunya keluarga yang
masih dimilikinya, Mauro. Ketakutan atas kehilangan karena penyakit ketimbang
akibat konflik seolah menyentak kesadaran bahwa kehilangan karena penyakit ternyata kini masih jauh lebih tinggi angkanya daripada bahaya
perang.
Pengambilan gambar berlangsung di pulau Timor memang
sangat eksotis dengan topografi khasnya. Juga musik latar banyak mengambil dari
lagu etnis Timor, serta sejumlah dialog
yang memakai dialek Timor, meski kadang kurang pas bagi pemeran yang bukan asli
Timor. Tapi film garapan Ari Sihasale ini sungguh asyik dinikmati.
Supaya plong, ceritanya berujung happy ending. Keluarga
Tatiana dipertemukan kembali.