|
Gambar: http://armaitamutiara.blogspot.com |
Masyarakat Adonara memiliki apresiasi seni yang tinggi. Di pulau ini bisa kita temukan pertunjukkan yang penuh dengan tari-tarian
bersemangat hingga nyanyian-nyanyian sendu. Juga kisah-kisah epik dan legenda
yang dilagukan. Tak ketinggalan pula
seni lakon yang merupakan gabungan antara pemeran, panggung, dan dialog.
Aktivitas berkesenian dalam lakon ini bisa kita temui dalam tarian Ina Hai ata
kiri yang sempat penulis saksikan di desa Lamahala Jaya, Adonara Timur.
Pementasan dilakukan dalam rangka momen
kunjungan kegiatan Temu Sastrawan Indonesia Timur yang berlangsung di Flores
Timur beberapa waktu lalu.
Ina Hai Ata Kiri atau harafiah berarti kisah gadis dan sisir emas adalah tarian sejenis dolo-dolo. Tetapi yang
membedakannya, di tengah-tengah tarian dipentaskan lakon kuno yang berisikan kisah tentang munculnya tarian ini.
Alkisah, pada jaman dahulu
terdapat seorang pembesar dari kampung tetangga di bagian hulu Sungai Wai
Knawe, yakni kampung Notan Boi Taran. Pembesar kampung ini memiliki seorang
putri. Putri ini menjadikan sungai Wai Knawe sebagai tempat pemandiannya. Saat sedang
mandi, sisir emas milik sang putri jatuh ke dalam air. Sisir emas ini kemudian
hanyut dan ditemukan oleh seorang gadis jelata asal Lamahala bernama Ina Rotok. Sisir ini pun kemudian dikembalikan kepada
pemiliknya yang sah, yaitu si Putri dari Notan Boi Taran.
Pementasan tarian dengan lakon
ini dibawakan oleh sejumlah besar wanita. Karena tidak ada panduan yang
memadai, saya tidak dapat mengikuti lakon dengan terinci. Tetapi saya dapat
mengikuti percakapan dimana dialognya meniru logat dari bagian tengah pulau
Adonara. Iya, dalam lakon tersebut, para pelakon meniru aksen bicara ala
Kenotan di Adonara Tengah. Sapaan ‘Edo’ dengan penekanan yang khas
diulang-ulang dalam dialog antara pemeran Ina rotok dan si Putri pemimpin
kampung ini.
Lakon ini barangkali dapat
dijadikan jembatan untuk memahami komunikasi orang pada masa itu persentuhan
dengan budaya dari kampung-kampung tetangga. Di masa lalu, kontak dengan
kampung tetangga adalah hal yang intens terjadi, meski dengan muatan budaya
yang kadang berbeda. Contohnya saja dalam hal kebiasaan dan aksen berbicara
yang dikedepankan dalam dialog ini.
Interaksi antara penduduk dari
perbukitan alias ‘Ata Kiwan’ dan penduduk pantai alias ‘Ata Watan’ di kemudian hari
tampak tidak lagi mulus sejak masuknya kekuatan Eropa dengan beragam kepentingannya.
Ini terjadi pada periode sejarah yang diteliti oleh RH Barnes di seputar
masuknya kekuatan politik dan militer Eropa pada paruh akhir 1800-an hingga
awal tahun 1900-an. Tetapi kontak budaya, hubungan kawin mawin serta aktivitas
ekonomi masih menjadi penyambung dan perekat kedua entitas ini. (smpt)