Rabu, 03 Juli 2013

Tempat Sampah

4.50 am, dini hari Jumad, 28 Mei 2011, di Larantuka
Seorang lelaki berjalan dari lorong sempit memikul sebuah karung besar yang berisi penuh. Bulan tak bersinar, tetapi lampu jalan cukup menerangi malam dari ujung masuk lorong. Masuk ke jalan besar, tampak dua gadis melintas. Baju kaos tipis, celana short, dan handuk di leher. Lari pagi. Di ujung lorong pertama ke arah barat, dua cowok berdiri menemani seorang gadis yang lagi mengayun tali dan meloncatr. Loncat tali. Si lelaki mengenal mereka. Mereka lahir di kota I ni.
“Ini tempat sampah umum?” tanyanya.
“Oh, bukan,” jawab salah satu cowok, “ini milik pegadaian sini”, lanjutnya.
Di balik pagar, berdiri bangunan anggun di atas pondasi tinggi. Perum pegadaian.
“Ada tempat sampah umum di ujung sana, dekat perempatan pasar,” si cewek bicara terengah-engah setelah menghentikan loncat talinya. Si lelaki melanjutkan perjalanannya.
Di perempatan pasar, bunyi derakan terdengar saat ia membuang karung dari bahunya. Ia pulang,. Masih ada satu karung lagi.
Mengapa harus pagi-pagi? Inilah waktu paling tepat dan paling ‘sopan’ untuk membuang sampah dari rumah-rumah penduduk, menurut yang dikatakan oleh para peneliti.
4.50 pm, Sebulan kemudian, di Waiwerang
Si lelaki berdiri menerawang ke kejauhan. Pulau Solor di depan sana. Pantai indah di bawah kakinya. Tak lama, muncul seorang gadis dan seorang anak kecil dengan bawaan mereka. Si gadis memikul karung besar sementara si anak menenteng tas plastik merah. Dua-duanya berisi penuh.
Di tepi pantai, berdiri bangunan sederhana menyerupai dermaga pendek. Dua kolom ditanam di atas pasir, tiga slopf seperti pada bangunan gedung rumah tinggal, dan bentangan semen di atasnya.
Dua cewek tadi melintasi lorong berlantai semen, menuju anjungan dermaga tadi, dan menumpahkan isi karung dan kantung plastik ke pantai di bawah mereka. Si lelaki memalingkn muka ketika debu beterbangan terbawa angin pantai. Sebagian debu mendarat di wajahnya. Ia mengalah saja, tak ada gunanya berceramah sopan-santun kepada dua gadis itu, pikirnya.
Di kota pertama, Larantuka, ada tempat sampahnya di sejumlah lokasi. Tetapi menyusuri setepak demi setepak kota Waiwerang, tempat sampah sulit ditemui. Warga membuang sampah di tempat sampah yang langsung disediakan alam. Pantai, halaman terbuka, sungai, got, dan badan jalan.
Kota pun makin membesar, sampah pun makin menumpuk, dan semoga kesehatan penduduk makin dijamin dengan dibereskannya sampah-sampah itu. Itulah inti pelayanan pemerintah, bukan dibangunnya gedung-gedung megah, atau kantor-kantor pemerintahan.
Jika Johanis Alex Ninu pada jurnal Pluralis 2006 mengatakan adanya hambatan sosial budaya terhadap kebiasaan membuang sampah, maka di sini lebih disoroti pada masalah ketersediaan sarana prasarana.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: