4.50 am, dini hari Jumad, 28 Mei 2011, di Larantuka
Seorang
lelaki berjalan dari lorong sempit memikul sebuah karung besar yang
berisi penuh. Bulan tak bersinar, tetapi lampu jalan cukup menerangi
malam dari ujung masuk lorong. Masuk ke jalan besar, tampak dua gadis
melintas. Baju kaos tipis, celana short, dan handuk di leher. Lari pagi.
Di ujung lorong pertama ke arah barat, dua cowok berdiri menemani
seorang gadis yang lagi mengayun tali dan meloncatr. Loncat tali. Si
lelaki mengenal mereka. Mereka lahir di kota I ni.
“Ini tempat sampah umum?” tanyanya.
“Oh, bukan,” jawab salah satu cowok, “ini milik pegadaian sini”, lanjutnya.
Di balik pagar, berdiri bangunan anggun di atas pondasi tinggi. Perum pegadaian.
“Ada
tempat sampah umum di ujung sana, dekat perempatan pasar,” si cewek
bicara terengah-engah setelah menghentikan loncat talinya. Si lelaki
melanjutkan perjalanannya.
Di perempatan pasar, bunyi derakan terdengar saat ia membuang karung dari bahunya. Ia pulang,. Masih ada satu karung lagi.
Mengapa
harus pagi-pagi? Inilah waktu paling tepat dan paling ‘sopan’ untuk
membuang sampah dari rumah-rumah penduduk, menurut yang dikatakan oleh
para peneliti.
4.50 pm, Sebulan kemudian, di Waiwerang
Si
lelaki berdiri menerawang ke kejauhan. Pulau Solor di depan sana.
Pantai indah di bawah kakinya. Tak lama, muncul seorang gadis dan
seorang anak kecil dengan bawaan mereka. Si gadis memikul karung besar
sementara si anak menenteng tas plastik merah. Dua-duanya berisi penuh.
Di
tepi pantai, berdiri bangunan sederhana menyerupai dermaga pendek. Dua
kolom ditanam di atas pasir, tiga slopf seperti pada bangunan gedung
rumah tinggal, dan bentangan semen di atasnya.
Dua
cewek tadi melintasi lorong berlantai semen, menuju anjungan dermaga
tadi, dan menumpahkan isi karung dan kantung plastik ke pantai di bawah
mereka. Si lelaki memalingkn muka ketika debu beterbangan terbawa angin
pantai. Sebagian debu mendarat di wajahnya. Ia mengalah saja, tak ada
gunanya berceramah sopan-santun kepada dua gadis itu, pikirnya.
Di
kota pertama, Larantuka, ada tempat sampahnya di sejumlah lokasi.
Tetapi menyusuri setepak demi setepak kota Waiwerang, tempat sampah
sulit ditemui. Warga membuang sampah di tempat sampah yang langsung
disediakan alam. Pantai, halaman terbuka, sungai, got, dan badan jalan.
Kota
pun makin membesar, sampah pun makin menumpuk, dan semoga kesehatan
penduduk makin dijamin dengan dibereskannya sampah-sampah itu. Itulah
inti pelayanan pemerintah, bukan dibangunnya gedung-gedung megah, atau
kantor-kantor pemerintahan.
Jika
Johanis Alex Ninu pada jurnal Pluralis 2006 mengatakan adanya hambatan
sosial budaya terhadap kebiasaan membuang sampah, maka di sini lebih
disoroti pada masalah ketersediaan sarana prasarana.