Foto: Tempostore |
Jika anda seorang siswa atau siswi di sekolah, anda pasti pernah mengalami peristiwa terlambat massal ke sekolah di pagi hari. Peristiwa terlambat rame-rame ini terjadi setidaknya sekali
dalam setahun. Kalau anda perhatikan, keterlambatan ini berlangsung
pada bulan tertentu saja yang sama setiap tahunnya.
Yang
mengalami terlambat biasanya merasa
aneh. Soalnya suasana terasa seperti masih pagi sekali. Tetapi ketika menengok ke penunjuk waktu, wah jarum jam sudah mendekati angka tujuh. Saat buru buru ke sekolah, pas tiba gerbangnya malah sudah tutup. Yang lebih
mengherankan, teman teman yang lain pun terlihat kompak mengalami keterlambatan. Ada apa ini?
Jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri saudara-saudara. Jika
anda pernah mengalami hal tersebut, maka kesalahan tidak benar benar terletak pada diri
anda. Matahari memang agak terlambat terbit ketika sedang berada pada titik terjauh
di utara. Fenomena astronomi ini puncaknya terjadi pada tanggal 22 Juni setiap tahun yang dikenal dengan sebutan Summer Solstice. Jadi ketika di
wilayah bumi utara mengalami siang yang panjang karena matahari tepat ada di utara sana, kita yang di
bumi selatan justru mengalami siang hari terpendek. Saat itu, malam berlangsung
lebih panjang dan matahari akan terlambat muncul dari timur.
Akibatnya, siswa yang terbiasa berpedoman pada matahari akan merasa kecele ketika tahu bahwa jam di meja piket lebih cepat setengah jam mendahului kemunculan
matahari. Ini adalah waktu krusial yang bisa menyebabkan siswa tersebut terlambat dan dihukum berdiri di luar gerbang sekolah.
Di
wilayah empat musim, kemunculan matahari tidak menjadi masalah sebab mereka
sudah terbiasa dengan perbedaan siang dan malam yang agak ekstrim sejalan
dengan bergulirnya musim. Tetapi di wilayah dekat khatulistiwa, lama hari siang dan malam
terasa sama saja sepanjang tahun sehingga perbedaan kecil tersebut sering diabaikan. Siswa yang beraktivitas pagi, apalagi di
desa, kadang selalu berpedoman pada terbitnya matahari. Mereka kurang menyadari,
matahari akan terlambat terbit pada waktu tertentu. Dan akhirnya mereka pun ikut terlambat ke sekolah.
Dari kasus ini, kita akhirnya dapat mengerti mengapa warga
negara di wilayah yang jauh dari kathulistiwa lebih menghargai ketepatan
waktu pada arloji ketimbang perkiraan waktu berdasarkan kenampakan cahaya alam.
Perkiraan waktu dengan posisi matahari tak akan banyak berguna di sana. Pada
musim panas misalnya, sampai jam sepuluh malam pun matahari masih
kelihatan seperti sore hari. Sedang pada musim dingin, matahari terbitnya sangat terlambat dan tenggelam lebih cepat.
Hal
inilah yang menyebabkan orang orang bule lebih mematok aktivitasnya dengan
berpedoman pada ketepatan jam sebagai penanda waktu utama. Bukan memperkirakan
waktu dengan berpedoman pada letak matahari.