Rabu, 10 April 2019

Perjalanan Pagi di Lembata: Dari Kedang ke Lewoleba


Jika anda membaca tulisan ini, maka rentetan cerita ini meluncur karena terinspirasi dari sebuah buku. Buku berjudul Ruang Kelas Berjalan karangan penulis kelahiran Sumenep, M. Faizi yang saya baca barusan. Buku ini saya beli di aplikasi Google book. Saya lunasi dengan uang sisa dari pembelian buku Bumi Manusia, sebuah novel legendaris yang harusnya sudah saya baca sedari dulu tapi tak pernah kesampaian. Kota tempat saya kini tinggal, Atambua, memang belum punya toko buku sendiri.
Nah, buku yang baru saya baca ini berisi kisah perjalanan bus bus jarak jauh. Ada bus Antar Lintas Sumatra (ALS) yang menempuh ribuan kilometer dari Sumatra ke Jawa. Ada juga bus yang melintas dari kota di pulau Jawa tembus ke Sape di dekat Flores dengan dua kali menyeberang laut menggunakan ferry. Saya sebenarnya masih bertanya tanya tentang keberadaan bus bus Jawa ini. Mengherankan, sebab mereka ternyata masih punya segmen peminat sendiri. Padahal jalur ini sudah dihubungkan oleh kereta api dari ujung timur ke ujung barat.
Nah, cerita yang saya tulis ini memang tak sekolosal perjalanan jauh di atas yang butuh berhari hari. Ini perjalanan singkat belaka, berdurasi sekitar tiga jam. Sebuah perjalanan kembali dari tempat yang saya kunjungi selama beberapa hari. Perjalanan yang baru pertama kali saya tempuh dan mungkin akan saya lalui lagi di kemudian hari.
Pada beberapa hari itu, saya dan beberapa teman dari pulau Adonara mengunjungi sahabat kami di wilayah Kedang, Lembata. Kami berangkat dengan rencana yang sudah disusun rapi oleh para pimpinan kelompok kami. Rombongan kami memang terdiri dari muda mudi yang diorganisir oleh wadah keagamaan. Semuanya masih lajang kala itu.
Kami menyeberang dengan perahu lebih dari satu jam menuju timur, ke kota pantai Lewoleba. Dari sana, rombongan beralih ke truk yang sudah dimodifikasi menjadi angkutan penumpang. Lanjut menuju ke arah lebih timur lagi dengan moda transportasi paling populer di timur Indonesia ini.
Tiba di lokasi, aktivitas kami beberapa hari itu berlangsung padat dan cepat. Ratusan muda mudi setempat bergabung bersama kami. Ada dua kali  kerja bakti. Mengurug tanah di bangunan fondasi rumah ibadah, serta menyiapkan lokasi konser lengkap dengan pagar keliling dari seng  di lapangan umum. Siangnya ada pertandingan olahraga. Malamnya ada konser amal oleh group band populer di wilayah kami, dibuka langsung oleh Camat setempat.
Meskipun berangkat ke Lembata dalam rombongan,  saya memutuskan untuk pulang lebih awal. Ada urusan kantor  mendesak yang tidak dapat ditunda ataupun dilakukan orang lain. Santap malam perpisahan dengan sejumlah keluarga tempat saya dan tiga teman lain live in sudah berlangsung semalam. Paginya, sekali lagi sarapan supaya cukup tenaga untuk sampai di kampung halaman. Dan kemudian pamit. Ciao. Terimakasih untuk keluarga yang telah menampung saya sebagai anak sendiri.
Di keluarga tempat saya live in, mereka sudah memberitahu bahwa bus akan melintas jam empat hingga setengah lima pagi. Bus bus tersebut mengelilingi wilayah perbukitan Uyelewun sejak pukul dua dini hari. Dari desa ke desa, dari ujung timur hingga ke pertigaan di barat. Disambung dengan satu-satunya jalan menuju barat, ke kota kabupaten di Lewoleba sana.
Dari informasi teman-teman, rupanya bukan hanya saya sendiri. Ada juga seorang teman lain yang juga minta ijin lebih dulu meninggalkan lokasi. Cukup disayangkan memang. Sebab pada hari terakhir besok akan ada acara perpisahan ala muda mudi yang konon berlangsung di salah satu lokasi wisata sekitar sana. Tapi bagaimana lagi, kami terpaksa tak bisa ikut.
Dengan tas punggung yang isinya tak seberapa banyaknya, saya menuju ke jalan untuk menunggu kendaraan melintas. Sudah menunggu seorang gadis di sana, teman perjalanan saya. Sebut saja namanya Putri.
Daripada bengong menunggu kendaraan, saya ajak putri untuk jalan pagi saja. Olahraga, sekaligus menghalau dingin. Kami meninggalkan pinggiran kampung itu melintasi jalan beraspal yang sudah rusak parah dan tak jelas lagi aspalnya. Langit lagi cerah, penuh bintang bintang. Dan di bawah sini, dua cahaya lampu Nokia senter berusaha menyibak remang samar samar menuju ke barat. Di suatu tempat, pastinya, para kondektur bus lagi sibuk menaikkan barang ke atas bus ditingkahi suara mengobrol para penumpang.
Hanya dua puluhan menit berjalan kaki dari Hoelea, kami mencapai kampung Hingalamamengi tepat ketika terang terang tanah. Bus bus dari desa desa pasti akan tiba di sini. Kami bisa memilih bus yang lebih dulu tiba. Ternyata di pertigaan itu bertambah lagi rekan seperjalanan. Pemain band yang manggung kemarin malam ternyata  ikut pulang ke Adonara pagi itu.
Bus yang kami naiki memang bus beneran, bukan bus kayu 125 PS yang biasa digunakan untuk truk angkutan. Tapi mesinnya toh masih sama. Yang membedakan adalah bodynya dari aluminium atau besi yang terlihat utuh dengan interior dilapisi karpet dan tempat duduk sofa dengan sandaran. Pintu untuk naik dari samping dengan daun pintu tegak. Beda dengan bus kayu yang kami naiki saat kedatangan Kamis lalu. Yang atapnya terpal dengan rangka penutup dari pipa pipa setengah dim. Yang pintu masuknya dari belakang dan ditambahi kain penutup untuk menghalau debu.
Untuk ukuran transportasi kampung ke kampung, bus yang kami naiki pagi ini terbilang mewah. Ada tempat duduk empuk dan bunyi musik yang membangkitkan semangat menjemput hari. Terasa sensasinya seperti naik bus antarkota Larantuka Maumere yang lebih besar. Di Sabtu pagi ini, bersama belasan penumpang lainnya, kami melaju ke barat menuju kota Lewoleba.
Pulau Lembata sendiri, meskipun masih satu daratan kecil, terdiri dari dua etnis berbeda. Itu ditandai dengan bahasa daerah masing-masing. Ada etnis Kedang di timur dan Lamaholot di barat. Lebih ke timur lagi masih dihuni etnis Lamaholot di wilayah pulau Pantar. Praktis, etnis Kedang ini berada di tengah-tengah.
Setelah dari Hingalamamengi, kami tiba di kota kecamatan sekaligus kota pantai Balauring. Ini adalah kota pantai dengan pemukiman Bajau di atas laut. Kota kecil ini masih termasuk wilayah beretnis Kedang. Pasokan listrik untuk wilayah Kedang berasal dari kota ini. Lokasi PLTD tepat berada di tepi jalan.
Melaju ke barat lagi, kami ketemu desa Lewoleing. Nah, dari nama desanya sudah terbaca  kalau ia sudah masuk etnis Lamaholot. Etnis Lamaholot merupakan etnis terbesar kedua di NTT, menghuni hingga empat kabupaten. Dari wilayah pantar di kabupaten Alor, Lembata, Flores Timur, serta di Sikka bagian timur.
Kampung Lewoleing sendiri merupakan rest area yang terletak di pertengahan jalur tempuh Lewoleba ke Kedang. Para pejalan yang melintas akan berhenti di sini untuk menikmati sajian ketupat Lewoleing yang berukuran kecil-kecil. Sekali makan untuk porsi seorang kena ongkos lima ribu. Lauknya ikan segar, bukan ikan es yang biasa kita makan sehari-hari. Saat kedatangan kami Kamis lalu, suasana di situ ramai. Kami puluhan orang memborong sekaligus ketupat Lewoleing sehingga para pedagang pulang lebih awal.
Ini memang rest area favorit. Terletak di teluk yang tenang dengan hamparan pasir yang bersih dan jejeran pohon kelapa. Ada sejumlah lopo yang dibangun pemerintah, lengkap dengan kamar kecil. Pemandangannya menawan dengan gunung Lewotolok tegak membayang di laut yang bagai cermin raksasa di arah barat sana.
Rata rata para penumpang juga sopir dan kondekturnya turut sarapan serta ngopi. Saat berangkat dinihari tadi, kemungkinan tak sempat mengisi perut. Sejumlah penumpang ke kamar kecil. Setengah jam mengaso, kami melanjutkan perjalanan lagi menuju kota Lewoleba.
Kondisi jalan di ruas ini mulai dibenahi meskipun masih rusak parah di beberapa bagian. Pada ruas yang sudah dikerjakan, badan jalannya lebar lebar seukuran jalan Maumere Larantuka dengan trotoar di kiri kanan. Ini memang jalan strategis nasional yang dibiayai pengerjaannya langsung dari Jakarta. Sejumlah alat berat sering kami temui. Gusuran jalan perlebaran pun sering dijumpai sepanjang perjalanan. Karena kondisi jalan di beberapa bagian masih rusak, maka waktu tempuh madu terbilang lama, hampir menyamai waktu tempuh Maumere Larantuka yang jaraknya lebih jauh. Sulit memang untuk melaju kencang di sini.
Wilayah timur Lembata ini memang tidak begitu subur. Sebagian membentang sabana kering di perbukitan, diselingi pohon eucalyptus. Kalau di dataran rendah mayoritas ditumbuhi pohon lamtoro yang mungkin sengaja ditanam untuk membasmi alang-alang.
Wilayah yang agak rimbun terletak antara Hingalamamengi dan Balauring. Atau di wilayah tenggara gunung Uyelewun, di bilangan Walangsawa dan sekitarnya. Selebihnya didominasi lahan kering dan susah air. Di wilayah kami live in, air dibeli dari mobil tangki yang terbilang mahal. Warga terbiasa hemat menggunakan air.
Kami meluncur terus ke arah barat hingga tiba di Lewoleba. Bus berhenti di terminal timur. Perjalanan selanjutnya ke dalam kota via ojek. Lantas menuju pelabuhan dan siap meninggalkan pulau paus nan indah ini.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: