Jika
anda membaca tulisan ini, maka rentetan cerita ini meluncur karena terinspirasi
dari sebuah buku. Buku berjudul Ruang Kelas Berjalan karangan penulis kelahiran
Sumenep, M. Faizi yang saya baca barusan. Buku ini saya beli di aplikasi Google
book. Saya lunasi dengan uang sisa dari pembelian buku Bumi Manusia, sebuah
novel legendaris yang harusnya sudah saya baca sedari dulu tapi tak pernah
kesampaian. Kota tempat saya kini tinggal, Atambua, memang belum punya toko
buku sendiri.
Nah,
buku yang baru saya baca ini berisi kisah perjalanan bus bus jarak jauh. Ada
bus Antar Lintas Sumatra (ALS) yang menempuh ribuan kilometer dari Sumatra ke
Jawa. Ada juga bus yang melintas dari kota di pulau Jawa tembus ke Sape di dekat
Flores dengan dua kali menyeberang laut menggunakan ferry. Saya sebenarnya
masih bertanya tanya tentang keberadaan bus bus Jawa ini. Mengherankan, sebab
mereka ternyata masih punya segmen peminat sendiri. Padahal jalur ini sudah
dihubungkan oleh kereta api dari ujung timur ke ujung barat.
Nah,
cerita yang saya tulis ini memang tak sekolosal perjalanan jauh di atas yang
butuh berhari hari. Ini perjalanan singkat belaka, berdurasi sekitar tiga jam.
Sebuah perjalanan kembali dari tempat yang saya kunjungi selama beberapa hari.
Perjalanan yang baru pertama kali saya tempuh dan mungkin akan saya lalui lagi
di kemudian hari.
Pada
beberapa hari itu, saya dan beberapa teman dari pulau Adonara mengunjungi
sahabat kami di wilayah Kedang, Lembata. Kami berangkat dengan rencana yang
sudah disusun rapi oleh para pimpinan kelompok kami. Rombongan kami memang
terdiri dari muda mudi yang diorganisir oleh wadah keagamaan. Semuanya masih
lajang kala itu.
Kami
menyeberang dengan perahu lebih dari satu jam menuju timur, ke kota pantai
Lewoleba. Dari sana, rombongan beralih ke truk yang sudah dimodifikasi menjadi
angkutan penumpang. Lanjut menuju ke arah lebih timur lagi dengan moda
transportasi paling populer di timur Indonesia ini.
Tiba
di lokasi, aktivitas kami beberapa hari itu berlangsung padat dan cepat.
Ratusan muda mudi setempat bergabung bersama kami. Ada dua kali kerja
bakti. Mengurug tanah di bangunan fondasi rumah ibadah, serta menyiapkan lokasi
konser lengkap dengan pagar keliling dari seng di lapangan umum. Siangnya
ada pertandingan olahraga. Malamnya ada konser amal oleh group band populer di
wilayah kami, dibuka langsung oleh Camat setempat.
Meskipun
berangkat ke Lembata dalam rombongan, saya memutuskan untuk pulang lebih
awal. Ada urusan kantor mendesak yang tidak dapat ditunda ataupun
dilakukan orang lain. Santap malam perpisahan dengan sejumlah keluarga tempat
saya dan tiga teman lain live in sudah berlangsung semalam. Paginya, sekali
lagi sarapan supaya cukup tenaga untuk sampai di kampung halaman. Dan kemudian
pamit. Ciao. Terimakasih untuk keluarga yang telah menampung saya sebagai anak
sendiri.
Di
keluarga tempat saya live in, mereka sudah memberitahu bahwa bus akan melintas
jam empat hingga setengah lima pagi. Bus bus tersebut mengelilingi wilayah
perbukitan Uyelewun sejak pukul dua dini hari. Dari desa ke desa, dari ujung
timur hingga ke pertigaan di barat. Disambung dengan satu-satunya jalan menuju
barat, ke kota kabupaten di Lewoleba sana.
Dari
informasi teman-teman, rupanya bukan hanya saya sendiri. Ada juga seorang teman
lain yang juga minta ijin lebih dulu meninggalkan lokasi. Cukup disayangkan
memang. Sebab pada hari terakhir besok akan ada acara perpisahan ala muda mudi
yang konon berlangsung di salah satu lokasi wisata sekitar sana. Tapi bagaimana
lagi, kami terpaksa tak bisa ikut.
Dengan
tas punggung yang isinya tak seberapa banyaknya, saya menuju ke jalan untuk
menunggu kendaraan melintas. Sudah menunggu seorang gadis di sana, teman
perjalanan saya. Sebut saja namanya Putri.
Daripada
bengong menunggu kendaraan, saya ajak putri untuk jalan pagi saja. Olahraga,
sekaligus menghalau dingin. Kami meninggalkan pinggiran kampung itu melintasi
jalan beraspal yang sudah rusak parah dan tak jelas lagi aspalnya. Langit lagi
cerah, penuh bintang bintang. Dan di bawah sini, dua cahaya lampu Nokia senter
berusaha menyibak remang samar samar menuju ke barat. Di suatu tempat,
pastinya, para kondektur bus lagi sibuk menaikkan barang ke atas bus ditingkahi
suara mengobrol para penumpang.
Hanya
dua puluhan menit berjalan kaki dari Hoelea, kami mencapai kampung
Hingalamamengi tepat ketika terang terang tanah. Bus bus dari desa desa pasti
akan tiba di sini. Kami bisa memilih bus yang lebih dulu tiba. Ternyata di
pertigaan itu bertambah lagi rekan seperjalanan. Pemain band yang manggung
kemarin malam ternyata ikut pulang ke Adonara pagi itu.
Bus
yang kami naiki memang bus beneran, bukan bus kayu 125 PS yang biasa digunakan
untuk truk angkutan. Tapi mesinnya toh masih sama. Yang membedakan adalah bodynya
dari aluminium atau besi yang terlihat utuh dengan interior dilapisi karpet dan
tempat duduk sofa dengan sandaran. Pintu untuk naik dari samping dengan daun
pintu tegak. Beda dengan bus kayu yang kami naiki saat kedatangan Kamis lalu.
Yang atapnya terpal dengan rangka penutup dari pipa pipa setengah dim. Yang
pintu masuknya dari belakang dan ditambahi kain penutup untuk menghalau debu.
Untuk
ukuran transportasi kampung ke kampung, bus yang kami naiki pagi ini terbilang
mewah. Ada tempat duduk empuk dan bunyi musik yang membangkitkan semangat
menjemput hari. Terasa sensasinya seperti naik bus antarkota Larantuka Maumere
yang lebih besar. Di Sabtu pagi ini, bersama belasan penumpang lainnya, kami
melaju ke barat menuju kota Lewoleba.
Pulau
Lembata sendiri, meskipun masih satu daratan kecil, terdiri dari dua etnis
berbeda. Itu ditandai dengan bahasa daerah masing-masing. Ada etnis Kedang di
timur dan Lamaholot di barat. Lebih ke timur lagi masih dihuni etnis Lamaholot
di wilayah pulau Pantar. Praktis, etnis Kedang ini berada di tengah-tengah.
Setelah
dari Hingalamamengi, kami tiba di kota kecamatan sekaligus kota pantai
Balauring. Ini adalah kota pantai dengan pemukiman Bajau di atas laut. Kota
kecil ini masih termasuk wilayah beretnis Kedang. Pasokan listrik untuk wilayah
Kedang berasal dari kota ini. Lokasi PLTD tepat berada di tepi jalan.
Melaju
ke barat lagi, kami ketemu desa Lewoleing. Nah, dari nama desanya sudah
terbaca kalau ia sudah masuk etnis Lamaholot. Etnis Lamaholot merupakan
etnis terbesar kedua di NTT, menghuni hingga empat kabupaten. Dari wilayah
pantar di kabupaten Alor, Lembata, Flores Timur, serta di Sikka bagian timur.
Kampung
Lewoleing sendiri merupakan rest area yang terletak di pertengahan jalur tempuh
Lewoleba ke Kedang. Para pejalan yang melintas akan berhenti di sini untuk
menikmati sajian ketupat Lewoleing yang berukuran kecil-kecil. Sekali makan
untuk porsi seorang kena ongkos lima ribu. Lauknya ikan segar, bukan ikan es
yang biasa kita makan sehari-hari. Saat kedatangan kami Kamis lalu, suasana di
situ ramai. Kami puluhan orang memborong sekaligus ketupat Lewoleing sehingga
para pedagang pulang lebih awal.
Ini
memang rest area favorit. Terletak di teluk yang tenang dengan hamparan pasir
yang bersih dan jejeran pohon kelapa. Ada sejumlah lopo yang dibangun
pemerintah, lengkap dengan kamar kecil. Pemandangannya menawan dengan gunung
Lewotolok tegak membayang di laut yang bagai cermin raksasa di arah barat sana.
Rata
rata para penumpang juga sopir dan kondekturnya turut sarapan serta ngopi. Saat
berangkat dinihari tadi, kemungkinan tak sempat mengisi perut. Sejumlah
penumpang ke kamar kecil. Setengah jam mengaso, kami melanjutkan perjalanan
lagi menuju kota Lewoleba.
Kondisi
jalan di ruas ini mulai dibenahi meskipun masih rusak parah di beberapa bagian.
Pada ruas yang sudah dikerjakan, badan jalannya lebar lebar seukuran jalan
Maumere Larantuka dengan trotoar di kiri kanan. Ini memang jalan strategis
nasional yang dibiayai pengerjaannya langsung dari Jakarta. Sejumlah alat berat
sering kami temui. Gusuran jalan perlebaran pun sering dijumpai sepanjang
perjalanan. Karena kondisi jalan di beberapa bagian masih rusak, maka waktu
tempuh madu terbilang lama, hampir menyamai waktu tempuh Maumere Larantuka yang
jaraknya lebih jauh. Sulit memang untuk melaju kencang di sini.
Wilayah
timur Lembata ini memang tidak begitu subur. Sebagian membentang sabana kering
di perbukitan, diselingi pohon eucalyptus. Kalau di dataran rendah mayoritas
ditumbuhi pohon lamtoro yang mungkin sengaja ditanam untuk membasmi
alang-alang.
Wilayah
yang agak rimbun terletak antara Hingalamamengi dan Balauring. Atau di
wilayah tenggara gunung Uyelewun, di bilangan Walangsawa dan sekitarnya.
Selebihnya didominasi lahan kering dan susah air. Di wilayah kami live in, air
dibeli dari mobil tangki yang terbilang mahal. Warga terbiasa hemat menggunakan
air.
Kami
meluncur terus ke arah barat hingga tiba di Lewoleba. Bus berhenti di terminal
timur. Perjalanan selanjutnya ke dalam kota via ojek. Lantas menuju pelabuhan
dan siap meninggalkan pulau paus nan indah ini.