Pagi
ini untuk pertama kalinya beraktivitas jalan pagi. Lumayan unik sih.
Tidak serupa lari pagi yang sudah mainstream. Seperti dua gadis remaja
yang sudah beraktivitas lari pagi di kejauhan sana. Tepat ketika
kaki saya mulai menyentuh aspal pagi-pagi ini.
Jalan
pagi itu asyik. Mengingatkan pada aktivitas Senin pagi di jaman SMP dulu.
Ketika pelajar-pelajar menyudahi libur akhir minggu mereka menuju asrama
sekolah yang enam kilometer jauhnya dari kampung.
Rute
jalan pagi ini serupa. Menyusuri jalan kecil dengan perumahan yang jarang.
Selebihnya hutan dan padang rumput. Dengan embun yang menyelimuti daun-daun di
mana kamu bisa mencuci kaki hanya dengan menyentuh daun daun itu.
Iya,
saya ambil rute meninggalkan jalan raya menuju jalan lingkar luar
kelurahan. Mendaki ke atas bukit kecil yang seolah memagari wilayah utara
kelurahan Umanen yang terbilang luas ini.
Jalan
pagi saya mulai tepat pukul lima. Langit sudah agak terang. Ini periode siang
panjang. Beda dengan dua bulan lalu ketika langit masih gelap pekat ketika
pukul lima.
Butuh
waktu setengah jam dengan langkah pelan untuk tiba di puncak bukit. Saat
berdiri di sini, kota Atambua terlihat di bawah sana. Sementara matahari dalam
beberapa saat lagi akan terbit dari belakang saya. Mengintip dari pegunungan
timur yang menghalangi pandangan ke laut Timor. Tampak kabut menyelimuti
wilayah pegunungan di kejauhan, dekat permukaan tanah.
Saat
ini pulau Timor masih mengalami musim hujan. Gemericik aliran air mengiringi
separuh perjalanan saya. Air dengan debit minim ini mengalir menuju
ke arah embung timur. Berlanjut ke sungai besar yang bermuara di wilayah Timor
Leste sana.
Airnya
jernih. Terperangkap oleh tanah liat yang sulit ditembus. Ditampung sementara
dalam tandon berupa struktur batuan berpori. Kemudian mengalir keluar sedikit
demi sedikit. Tetapi jika melihat wilayah bukit kecil yang nyaris tandus di
musim kemarau, sungguh sulit dipercaya bahwa di sini bisa muncul mata
air. Tapi begitulah, air jernih muncul di beberapa titik di kaki bukit
dan bertahan mengalir selama waktu musim hujan yang singkat ini.
Aliran
air rupanya menciptakan obstacle untuk kegiatan transportasi. Maka telah
dibuat beberapa buah duicker, jembatan kecil melintasi kali mati ini. Salah
satu jembatan sudah rusak parah. Dasarnya goyah oleh struktur tanah yang
tidak stabil. Dugaan saya, bagian bawahnya tergerus erosi atau ada kendaraan
dengan muatan berat pernah melintas sehingga menghancurkan strukturnya. Kini,
jembatan ini sebagiannya ditimbun tanah serta dibuat titian dari kayu. Praktis,
kendaraan roda empat tak akan bisa lagi melintas sebelum fasilitas ini
diperbaiki kembali.
Setelah
bersantai beberapa menit di bukit, saya pun pulang. Target saya empat puluh
lima menit untuk sampai di atas sini. Tapi ternyata tiba lebih cepat. Dalam
perjalanan pulang menuju ke wilayah hunian, penghuni rumah di pinggir jalan
sudah mulai terdengar kesibukannya. Tidak seperti suasana hutan yang sangat
sepi. Suara satwa pun tidak terdengar. Jauh dari fantasi alam pedesaan
yang penuh suara burung. Belum jelas apa fenomena senyap ini berlangsung
musiman atau sepanjang tahun.
Di
salah satu rumah di sisi kanan jalan, seorang bapak sudah dalam kesibukan pagi,
dengan putri ataupun mungkin menantunya yang sedang sibuk menata rumah di awal
hari. Dari jalan, saya berteriak selamat pagi dan dijawabnya sambil senyum
ramah ala penduduk desa-desa.
"Lagi
olahraga Bapa, naik ke bukit," cerita saya dari jalan lantas pamit pergi.
Kesibukan pagi berlanjut. Di wilayah pinggiran ini, listrik pun sudah
tersedia. Perumahan masih semi permanen dengan atap seng dan dinding bebak.
Tiang listrik menjangkau hingga tengah-tengah kampung, dilanjutkan dengan tiang
tiang kayu dan kabel snur untuk beberapa rumah yang belum punya meteran
sendiri.
Mendekati
jalan raya lintas kota, saya tiba di depan markas komando satuan tugas
pengamanan perbatasan. Sedang ada kesibukan pagi di sini. Ketika melintas
pagi-pagi tadi tepat jam lima, sudah terdengar bunyi sirene pagi dari
pengeras suara. Dari kompleks ini pun biasanya terdengar lantunan shalawat
hingga jauh malam ataupun dini hari pada hari hari tertentu.
Di
luar pagar, seorang ibu pemulung dengan pakaian hitam tampak sedang bekerja,
mengumpulkan botol botol Aqua yang banyak bertebaran di situ. Pencarian nafkah
keluarga rupanya sudah berlangsung sejak pagi-pagi sekali di situ.
Tepat
saat tiba di depan mako satgas, bendera merah putih siap dikibarkan. Dari
pengeras suara terdengar perintah menghentikan segala aktivitas selama bendera
dinaikkan. Bendera naik diiringi tanda sirene dari pengeras suara, membunyikan
sebaris komposisi musik entah dengan judul apa. Saya berhenti. Menghadap ke
bendera yang sedang dikibarkan. Sementara di belakang sana, si ibu pemulung
tetap sibuk dengan aktivitasnya mencari nafkah di pagi hari.
Kompleks
markas komando dengan penghuni berseragam loreng ini cukup luas. Terdiri
dari kantor, asrama, tempat parkir kendaraan hingga tempat latihan. Di
sampingnya ada kebun markas yang diisi dengan sayur-sayuran dan sebuah kolam
kecil dengan ikan. Papan nama di sisi pagar bertuliskan kebun Mako, menegaskan
kepemilikan areal kebun yang tidak begitu luas itu.
Lokasi
Mako sendiri sudah dekat jalan raya. Juga dekat tempat kerja saya. Usai sudah
jalan pagi ini. Geber roda dua kembali ke kontrakan, mandi pagi,
dan lanjut ngopi dengan gula sedikit.