Selasa, 16 April 2019

Jalan Pagi: ke Bukit Utara Umanen


Pagi ini untuk pertama kalinya beraktivitas  jalan pagi. Lumayan unik sih. Tidak serupa lari pagi yang sudah mainstream. Seperti dua gadis remaja yang   sudah beraktivitas lari pagi di kejauhan sana. Tepat ketika kaki saya mulai menyentuh aspal pagi-pagi ini.

Jalan pagi itu asyik. Mengingatkan pada aktivitas Senin pagi di jaman SMP dulu. Ketika pelajar-pelajar menyudahi libur akhir minggu mereka  menuju asrama sekolah yang enam kilometer jauhnya dari kampung.

Rute jalan pagi ini serupa. Menyusuri jalan kecil dengan perumahan yang jarang. Selebihnya hutan dan padang rumput. Dengan embun yang menyelimuti daun-daun di mana kamu bisa mencuci kaki hanya dengan menyentuh daun daun itu.

Iya, saya ambil rute meninggalkan jalan raya menuju jalan lingkar luar  kelurahan. Mendaki ke atas bukit kecil yang seolah memagari wilayah utara kelurahan Umanen yang terbilang luas ini.

Jalan pagi saya mulai tepat pukul lima. Langit sudah agak terang. Ini periode siang panjang. Beda dengan dua bulan lalu ketika langit masih gelap pekat ketika pukul lima.

Butuh waktu setengah jam dengan langkah pelan untuk tiba di puncak bukit. Saat berdiri di sini, kota Atambua terlihat di bawah sana. Sementara matahari dalam beberapa saat lagi akan terbit dari belakang saya. Mengintip dari pegunungan timur yang menghalangi pandangan ke laut Timor. Tampak kabut menyelimuti wilayah pegunungan di kejauhan, dekat permukaan tanah.

Saat ini pulau Timor masih mengalami musim hujan. Gemericik aliran air mengiringi separuh   perjalanan saya. Air dengan debit minim ini mengalir menuju ke arah embung timur. Berlanjut ke sungai besar yang bermuara di wilayah Timor Leste sana.

Airnya jernih. Terperangkap oleh tanah liat yang sulit ditembus. Ditampung sementara dalam tandon berupa struktur batuan berpori. Kemudian mengalir keluar sedikit demi sedikit. Tetapi jika melihat wilayah bukit kecil yang nyaris tandus di musim kemarau, sungguh sulit dipercaya bahwa  di sini bisa muncul mata air. Tapi begitulah, air jernih muncul di beberapa  titik di kaki bukit dan bertahan mengalir selama waktu musim hujan yang singkat ini.

Aliran air rupanya  menciptakan obstacle untuk kegiatan transportasi. Maka telah dibuat beberapa buah duicker, jembatan kecil melintasi kali mati ini. Salah satu jembatan sudah rusak parah.  Dasarnya goyah oleh struktur tanah yang tidak stabil. Dugaan saya, bagian bawahnya tergerus erosi atau ada kendaraan dengan muatan berat pernah melintas sehingga menghancurkan strukturnya. Kini, jembatan ini sebagiannya ditimbun tanah serta dibuat titian dari kayu. Praktis, kendaraan roda empat tak akan bisa lagi melintas sebelum fasilitas ini diperbaiki kembali.

Setelah bersantai beberapa menit di bukit, saya pun pulang. Target saya empat puluh lima menit untuk sampai di atas sini. Tapi ternyata tiba lebih cepat. Dalam perjalanan pulang menuju ke wilayah hunian, penghuni rumah di pinggir jalan sudah mulai terdengar kesibukannya. Tidak seperti suasana hutan yang sangat sepi.  Suara satwa pun tidak terdengar. Jauh dari fantasi alam pedesaan yang penuh suara burung. Belum jelas apa fenomena senyap ini berlangsung musiman atau sepanjang tahun.

Di salah satu rumah di sisi kanan jalan, seorang bapak sudah dalam kesibukan pagi, dengan putri ataupun mungkin menantunya yang sedang sibuk menata rumah di awal hari. Dari jalan, saya berteriak selamat pagi dan dijawabnya sambil senyum ramah ala penduduk desa-desa.

"Lagi olahraga Bapa, naik ke bukit," cerita saya dari jalan lantas pamit pergi. Kesibukan pagi berlanjut. Di wilayah pinggiran ini,  listrik pun sudah tersedia. Perumahan masih semi permanen dengan atap seng dan dinding bebak. Tiang listrik menjangkau hingga tengah-tengah kampung, dilanjutkan dengan tiang tiang kayu dan kabel snur untuk beberapa rumah yang belum punya meteran sendiri.

Mendekati jalan raya lintas kota, saya tiba di depan markas komando satuan tugas pengamanan perbatasan. Sedang ada kesibukan pagi di sini. Ketika melintas pagi-pagi  tadi tepat jam lima, sudah terdengar bunyi sirene pagi dari pengeras suara. Dari kompleks ini pun biasanya terdengar lantunan shalawat hingga jauh malam ataupun dini hari pada hari hari tertentu.

Di luar pagar, seorang ibu pemulung dengan pakaian hitam tampak sedang bekerja, mengumpulkan botol botol Aqua yang banyak bertebaran di situ. Pencarian nafkah keluarga rupanya  sudah berlangsung sejak pagi-pagi sekali di situ.

Tepat saat tiba di depan mako satgas, bendera merah putih siap dikibarkan. Dari pengeras suara terdengar perintah menghentikan segala aktivitas selama bendera dinaikkan. Bendera naik diiringi tanda sirene dari pengeras suara, membunyikan sebaris komposisi musik entah dengan judul apa. Saya berhenti. Menghadap ke bendera yang sedang dikibarkan. Sementara di belakang sana, si ibu pemulung tetap sibuk dengan aktivitasnya mencari nafkah di pagi hari.

Kompleks markas komando dengan penghuni berseragam loreng  ini cukup luas. Terdiri dari kantor, asrama, tempat parkir kendaraan hingga tempat latihan. Di sampingnya ada kebun markas yang diisi dengan sayur-sayuran dan sebuah kolam kecil dengan ikan. Papan nama di sisi pagar bertuliskan kebun Mako, menegaskan kepemilikan areal kebun yang tidak begitu luas itu.

Lokasi Mako sendiri sudah dekat jalan raya. Juga dekat tempat kerja saya. Usai sudah jalan pagi ini.   Geber roda dua kembali ke kontrakan, mandi pagi, dan lanjut ngopi dengan gula sedikit.


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: