Kamis, 18 April 2019

Satu Jam Perjalanan Pagi, Sehari Usai Pesta Rakyat


Pagi yang baru hadir dengan keceriaan cicit burung di pohon belakang dekat sumur. Saya kembali bangun lebih awal pagi ini. Mengulangi lagi aktivitas jalan pagi seperti beberapa hari yang lalu, tentu saja dengan rute berbeda.

Apa sih asyiknya jalan pagi? Semasa masih bersekolah, aktivitas pagi hari biasa saya lakukan untuk menjelajah wilayah sekitar. Ini pengakuan: saya termasuk orang rumahan kala itu. Lebih sibuk dengan urusan rumah ketimbang bergaul dengan rekan sebaya. Nah, daripada tidak pernah menjelajahi kota, saya memilih melakukannya sendirian. Di pagi hari. 


Maka kota Larantuka tempo dulu saya jelajahi di pagi hari sampai berkilo-kilo meter dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Lari pagi dari Gege ke Lewolere, pernah. Ke timur sampai tambak di Meting Doeng, pernah. Kadang lewat jalur tengah, kadang lewat jalan atas atau jalan bawah.  Jadi, meski terlihat jarang bergaul, saya cukup tahu dengan mendetail sejumlah titik titik kota karena pernah menjejakkan kaki di sana.

Tapi tidak untuk saat ini. Sebagian besar sudut kota sudah saya jelajahi dalam aktivitas harian bersama teman-teman. Sejumlah kecamatan kecamatan terjauh pun pernah saya jelajahi baik karena urusan pekerjaan maupun aktivitas bersama teman-teman komunitas. Jadi, jalan pagi kali ini sekadar mengasah kepekaan menangkap fenomena yang sering terlihat remeh bagi warga kota. Tapi tidak untuk kami, para nomaden yang sering  pindah dari kota ke kota.

Pagi ini,  sehari usai pesta rakyat. Saya kembali lagi menjejak aspal. Kali ini menuju ke timur. Dari tempat saya di Atambua Barat, saya menuju ke arah dalam kota. Menyusuri seratus meter jalan utama, saya berbelok ke selatan. Ruas jalan ke selatan ini melintasi wilayah pergudangan dengan hunian yang relatif sepi. Tetapi badan jalan masih selebar jalan utama dan sering dilintasi kendaraan bertonase besar dari gudang.

Jauh ke selatan, menuju ke bukit,  jalan ini mengarah ke lokasi kampung lama Matabesi. Tempat tersebut adalah  hunian awal suku suku yang kini telah menyebar dalam sejumlah kampung dalam  wilayah kelurahan ini. Di sana masih berdiri sejumlah rumah adat. Pada event festival kampung adat beberapa bulan lalu, jalan menuju kampung lama sebagiannya diaspal karena ada kunjungan dari orang orang dari Jakarta sana. Event rutin yang juga bagian dari pariwisata ini sempat saya hadiri pada hari kedua di mana ada napak tilas jejak leluhur menuju bukit batu. Dari puncak bukit batu, seseorang bisa melepas pandangan hingga wilayah yang cukup luas di bawah sini.

Tapi saya tidak sampai ke kampung lama pagi ini. Sebelum masuk ke komplek kampung lama, ada sebuah persimpangan ke kiri. Jalannya belum beraspal. Saya ambil jalan itu, yang pernah saya lintasi beberapa bulan lalu. Pada musim kemarau lalu, di situ ada bekas lubang galian sirtu yang masih dipenuhi air. Tapi saat  ini tidak lagi. Sudah dibuatkan saluran outflow sehingga hanya tersisa sedikit air. Limpahan air langsung keluar  menuju parit di jalan. Tidak seperti bekas tambang batubara Kalimantan yang menelan ratusan jiwa anak anak tenggelam sebagaimana bisa disaksikan di dokumenter "Sexy Killer" baru baru ini. Di arah bukit mengalir dua kali kecil. Airnya yang jernih mengalir sampai di jalan raya sana sehingga telah dibuatkan dua jembatan kecil.

Pagi ini ada juga kesibukan lain di lokasi pemungutan suara. Pilpres dan pileg serentak baru berlangsung kemarin. Kebanyakan dari TPS berlokasi di dekat jalan. Termasuk TPS 19 yang kini terlihat. Para petugas yang didominasi anak muda sudah tampak ramai pagi-pagi ini. Kelihatan sedang menandatangani berkas berkas. Sejumlah akamsi (anak kampung sini) berteriak menyapa. Mereka memang sering main di mess karyawan sehingga saya kenal baik. Saya balas menyapa dan lanjutkan jalan kaki mendaki bukit.

Kembali melanjutkan perjalanan ke timur, saya temui sepasang lansia yang juga sedang jalan pagi dekat rumah. Mungkin hendak bertemu kerabat atau urusan lainnya. Anjing anjing galak banyak di situ dan mulai menggonggong saya. Pasangan lansia itu coba menghalau anjing tersebut dan memberitahu saya untuk melempar saja anjing anjing itu dengan batu. Tapi saya punya trik yang masih bisa saya gunakan.  Iya, musuh utama untuk kegiatan  jalan pagi di wilayah berpenghuni adalah anjing galak. Teman teman yang biasa lari pagi pun mengeluh hal yang sama.  Mereka akhirnya  memilih lari pagi ke luar kota menghindari diserang anjing. Tapi saya punya trik cantik untuk membuat anjing tak berkutik. Trik ini bisa dibaca di sini.  Seperti yang juga saya terapkan pagi tadi ketika terancam rombongan anjing galak di wilayah gudang gudang sepi.

Jalan saya susuri terus hingga mendekati kantor Bupati yang berlokasi di bukit. Letak kantor Bupati masih dalam wilayah kelurahan kami. Luas kelurahan ini memang sebanding dengan luas beberapa kelurahan sekaligus. Berbatasan dengan kelurahan manumutin di wilayah bandara sana. Dari  dekat kantor Bupati, saya kembali ke utara, menuju kantor pengadilan agama yang baru dibangun. Sudah banyak remaja yang ikut beraktivitas lari pagi. Juga sejumlah pekerja konstruksi perumahan tampak sedang bersantai. Saya teruskan perjalanan ke jalan raya dan kembali ke barat.

Di TPS lain dekat jalan raya tampak kesibukan yang sama. Para petugas yang berjaga sepanjang malam untuk mengamankan kotak suara masih terlihat di sana. Tenda tenda TPS tersebut banyak yang dihias, seolah jadi penegas bahwa ini benar benar pesta rakyat. Beberapa anak sekolah pun membersihkan lokasi TPS yang kotor oleh aktivitas pesta demokrasi kemarin. Saya kembali ke mess karyawan usai satu jam plus sepuluh menit jalan pagi.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: