Minggu, 21 April 2019

Nurtural Obstacle: Ketika Kaca Bangunan Jadi Pembunuh Berantai


Foto: Karolina Nareck
Semasa kecil ketika berada di dalam hutan, saya tak jarang  bertemu burung yang terbang dengan kecepatan tinggi. Burung ini melintas rendah hanya sekitar dua meter dari atas tanah. Melaju sekelebat di antara batang-batang pohon dan seketika menghilang ke balik hutan.

Nama burung tersebut dalam bahasa daerah adalah mukeng. Kurang jelas apa nama bahasa Indonesianya. Kenapa cara hidupnya demikian? Kurang tahu juga. Para sarjana biologi atau ilmu alam tentu lebih paham. Kita masyarakat awam hanya menduga duga saja. Mungkin, sarang burung itu jauh dari tempatnya mencari makan. Atau mungkin itulah caranya berburu mangsa. Yang jelas, kecepatan melintas burung ini tidak beranjak jauh dari pembalap formula one yang juga menyaingi kecepatan rata-rata pesawat Lion air. Begitu kita sadar akan kehadirannya, dia sudah lenyap dalam sekedipan mata.

Jalur migrasi harian burung ini juga sering mengikuti aliran air. Pada masa kecil ketika mandi di sungai sebelum ke sekolah, kami sudah hafal jadwal burung ini melintas di pagi hari. Arah perjalanannya menuju ke hulu. Belum pernah saya saksikan burung tersebut melintas dalam arah sebaliknya. Prediksi saya, ia  mungkin melakukan perjalanan sebaliknya di siang atau malam hari, pada waktu kami tidak sedang beraktivitas di sungai.

Saat ini, saya sudah tidak mengetahui lagi keberadaan burung tersebut karena sudah tinggal jauh dari kampung halaman. Dengan makin terancamnya kehidupan alam, masihkah makhluk tersebut bertahan di lingkungan nya? Entahlah. Di kampung kini, banyak penghuni habitat alam yang menghilang. Seperti rimbunan bambu wuluh yang sudah punah digantikan tanaman kopi. Atau kakatua putih yang kini jumlahnya menyusut bahkan tinggal beberapa ekor saja.

Kehadiran manusia  rupanya mengubah kebiasaan burung tersebut menjadi petaka. Ada bangunan-bangunan yang didirikan di lintasan migrasinya. Ketika  melakukan perjalanan, mereka seringkali terbunuh di perlintasan. Coba saja periksa  bangunan bangunan sekolah yang menggunakan kaca jendela. Bangunan gedung ini  banyak yang melintang seolah memagari jalur migrasi burung. Berulangkali sepanjang tahun, ada saja burung yang terbunuh.

Mereka terbunuh saat membentur kaca. Dengan kecepatan terbang yang begitu tinggi, kaca tembus pandang yang menghalangi tidak bisa mereka deteksi. Suara benturan keras sering terdengar saat insiden tabrakan tunggal menimpa makhluk kecil tersebut. Malang baginya, jalur perjalanan nya sudah diblokir tanpa disadari.  Makhluk itu pun mati sia sia, terkulai di atas lantai dengan bercak darah di kaca serta di kepalanya. Kaca transparan telah jadi pembunuh berantai.

Anda mungkin mengatakan, ah biarlah ia  mati. Keberadaannya toh tak bermanfaat. Tapi tunggu, setiap makhluk ciptaan Tuhan pasti ada tugasnya masing masing. Mungkin saja burung tersebut adalah pemangsa serangga yang mengendalikan populasi serangga supaya tidak menjadi hama? Mungkin pula ia membantu menyebarkan bibit tanaman hutan atau membantu penyerbukan?  Entahlah.

Yang jelas, desain bangunan dari kaca transparan tampaknya tidak ramah terhadap lingkungan di wilayah berhutan. Bangunan di wilayah seperti itu mesti memperhatikan  populasi burung yang sering melintas. Jendela kaca transparan sebaiknya diganti dengan jendela kaca berwarna atau jeruji serta kawat. Supaya pergerakan burung yang mengandalkan pandangan mata bisa mendeteksi penghalang tersebut dan menghindarinya. Sehingga tidak ada lagi binatang yang terbunuh sia-sia oleh nurtural obstacle, obyek penghalang buatan manusia.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: