Foto: Karolina Nareck |
Nama burung tersebut dalam bahasa daerah adalah mukeng. Kurang jelas apa nama bahasa
Indonesianya. Kenapa cara hidupnya demikian? Kurang tahu juga. Para sarjana
biologi atau ilmu alam tentu lebih paham. Kita masyarakat awam hanya menduga
duga saja. Mungkin, sarang burung itu jauh dari tempatnya mencari makan. Atau
mungkin itulah caranya berburu mangsa. Yang jelas, kecepatan melintas burung ini
tidak beranjak jauh dari pembalap formula one yang juga menyaingi kecepatan
rata-rata pesawat Lion air. Begitu kita sadar akan kehadirannya, dia sudah
lenyap dalam sekedipan mata.
Jalur migrasi harian burung ini juga sering mengikuti aliran
air. Pada masa kecil ketika mandi di sungai sebelum ke sekolah, kami sudah
hafal jadwal burung ini melintas di pagi hari. Arah perjalanannya menuju ke
hulu. Belum pernah saya saksikan burung tersebut melintas dalam arah
sebaliknya. Prediksi saya, ia mungkin melakukan perjalanan sebaliknya di
siang atau malam hari, pada waktu kami tidak sedang beraktivitas di sungai.
Saat ini, saya sudah tidak mengetahui lagi keberadaan burung
tersebut karena sudah tinggal jauh dari kampung halaman. Dengan makin
terancamnya kehidupan alam, masihkah makhluk tersebut bertahan di lingkungan
nya? Entahlah. Di kampung kini, banyak penghuni habitat alam yang menghilang.
Seperti rimbunan bambu wuluh yang sudah punah digantikan tanaman kopi. Atau
kakatua putih yang kini jumlahnya menyusut bahkan tinggal beberapa ekor saja.
Kehadiran manusia rupanya mengubah kebiasaan burung
tersebut menjadi petaka. Ada bangunan-bangunan yang didirikan di lintasan
migrasinya. Ketika melakukan perjalanan, mereka seringkali terbunuh di
perlintasan. Coba saja periksa bangunan bangunan sekolah yang menggunakan
kaca jendela. Bangunan gedung ini banyak yang melintang seolah memagari
jalur migrasi burung. Berulangkali sepanjang tahun, ada saja burung yang
terbunuh.
Mereka
terbunuh saat membentur kaca. Dengan kecepatan terbang yang begitu tinggi, kaca
tembus pandang yang menghalangi tidak bisa mereka deteksi. Suara benturan keras
sering terdengar saat insiden tabrakan tunggal menimpa makhluk kecil tersebut.
Malang baginya, jalur perjalanan nya sudah diblokir tanpa disadari.
Makhluk itu pun mati sia sia, terkulai di atas lantai dengan bercak darah di
kaca serta di kepalanya. Kaca transparan telah jadi pembunuh berantai.
Anda
mungkin mengatakan, ah biarlah ia mati. Keberadaannya toh tak bermanfaat.
Tapi tunggu, setiap makhluk ciptaan Tuhan pasti ada tugasnya masing masing.
Mungkin saja burung tersebut adalah pemangsa serangga yang mengendalikan
populasi serangga supaya tidak menjadi hama? Mungkin pula ia membantu
menyebarkan bibit tanaman hutan atau membantu penyerbukan? Entahlah.
Yang
jelas, desain bangunan dari kaca transparan tampaknya tidak ramah terhadap
lingkungan di wilayah berhutan. Bangunan di wilayah seperti itu mesti memperhatikan
populasi burung yang sering melintas. Jendela kaca transparan sebaiknya diganti
dengan jendela kaca berwarna atau jeruji serta kawat. Supaya pergerakan burung
yang mengandalkan pandangan mata bisa mendeteksi penghalang tersebut dan
menghindarinya. Sehingga tidak ada lagi binatang yang terbunuh sia-sia oleh
nurtural obstacle, obyek penghalang buatan manusia.