Kamis, 02 Mei 2019

Praktis Mendaur Sampah Rumah Tangga, Begini Caranya


Persoalan yang cukup mendasar di wilayah padat penduduk adalah sampah. Benda benda tak terpakai ini jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan bertambahnya penduduk. Dalam sebulan, setiap orang bisa menghasilkan satu hingga lima kilogram sampah padat. Kalikan saja dengan jumlah penduduk, katakanlah pada sebuah desa dengan populasi seribu jiwa. Maka jumlah sampah yang dihasilkan per bulan bisa mencapai berton-ton. Hal ini cukup memusingkan pemerintah sebab kemampuan mengendalikan persoalan sampah ini terbatas adanya.

Di Kelurahan Waihali, Kota Larantuka minggu ini, posting medsos menyebut adanya bak sampah yang sudah penuh dan bahkan sampai meluber ke luar bak. Tempat pembuangan sementara di jalan Dolog ini sudah lebih dari seminggu tidak diangkut. Di Waiwerang, saat sore hari para karyawan toko rutin menjatuhkan sampah dari aktivitas usaha maupun rumah tangga ke dalam laut. Di Adonara Barat, saya dapat kiriman foto ibu ibu dan remaja membuang sampah ke pantai saat pagi hari. Pantai yang indah itu pun terganggu oleh tumpukan sampah, sebelum air laut pasang membawanya entah ke mana.

Di pihak berseberangan, para pemerhati lingkungan terus berusaha keras mengimbangi okupansi sampah ini. Di Sarotari, ada komunitas orang muda yang sering membersihkan pantai dari plastik yang berserakan. Mereka lakukan itu untuk tetap menjaga keindahan pantai yang belakangan banyak dikunjungi tersebut. Di Lewolere dan Waibalun pun berlangsung aktivitas yang sama beberapa waktu lalu. Sementara di Lamahala, desa dengan penduduk terpadat di Flores timur, sejumlah remaja dan Pramuka tahun lalu turun ke pantai untuk memungut sampah. Tapi dengan jumlah gerakkan yang belum begitu massif, persoalan sampah tetap rutin kita hadapi. Memecahkannya butuh sumber daya yang besar.

Tapi kita lupakan dulu angka angka kolosal di atas. Bagaimanapun, berton-ton sampah tersebut sebenarnya dihasilkan dari satu dua kilogram sampah dari rumah-rumah penduduk. Di sini, kita sebenarnya bisa mencegah timbunan sampah yang menggunung ini dari tingkat rumah tangga.

+Bagaimana caranya?

-Dengan lubang sampah!

+Lobang sampah? Serius?

-Ya serius.

+Kan cepat penuh.

-Tapi bisa dikosongkan lagi kan?

Lubang sampah adalah tempat yang cukup baik untuk mendaur sampah, khususnya sampah organik khas rumah tangga. Sisa-sisa makanan, kayu tak terpakai, dedaunan dan sebagainya. Sampah ini mudah terurai oleh organisme pengurai. Sementara untuk memecah masalah plastik, sayangnya, harus dengan cara dibakar.

Menjadi relawan membuat lubang sampah sudah mulai saya lakukan sejak SMP. Itu saya lakukan di asrama sekolah. Ketimbang membuang sampah di tempat terbuka yang lantas diserakkan ayam atau angin, alangkah baiknya dikumpulkan di sebuah lubang. Sendirian, tanpa dibantu siapapun, saya menggali lubang tersebut dengan meminjam peralatan dari tetangga.

Perlahan, lingkungan asrama pun kembali menjadi bersih karena hadirnya lubang sampah. Mungkin lantaran itu, saya lantas ditunjuk jadi ketua asrama. Saat sampah mulai penuh, saya punya trik lain: memindahkan sampah yang sudah menjadi tanah tersebut untuk ditimbun di tempat lain.

Iya, sampah dedaunan ataupun sisa sisa makanan lambat laun akan terurai oleh organisme tanah. Semut, cacing, rayap kumbang dan lain-lain di sekitar akan bahu membahu mengerubuti sampah. Dengan memakan sampah, mereka menyisakan tanah. Sementara untuk sampah yang lama terurai seperti kertas dan plastik, ya dibakar saja.

Dalam satu hingga tiga bulan, lubang sampah terdebut akan penuh kembali. Tetapi jangan gali tempat sampah baru. Cukup kosongkan atau gali kembali tempat sampah yang sudah ada. Pisahkan galian menjadi empat bagian. Sampah, besi, kaca dan tanah. Sampah yang tersisa kembalikan lagi ke lubang sampah. Besi dan kaca simpan di karung untuk dibuang. Sementara tanah gembur manfaatkan untuk menanam atau menimbun halaman. Tapi pastikan dulu tanah tersebut sudah bebas dari sampah, besi dan pecahan kaca.

Trik ini saya gunakan terus saat SMA, kuliah hingga ketika sudah bekerja. Saat SMA di Larantuka, lubang sampah buatan saya ini dimanfaatkan pula oleh tetangga sekitar. Tempat sampah tidak akan meluap karena selalu saya kosongkan kembali setiap kali sudah penuh. Tanah dari lubang sampah adalah tanah subur yang bisa digunakan untuk menanam bunga.

Saat kuliah, di kost-kostan dengan penghuni belasan orang, saya gali tempat sampah tepat di depan kamar. Tentu saja sebelumnya saya sudah minta ijin ke pemilik kost. Tetangga kiri kanan protes. Tapi karena pemilik kost-kostan sudah setuju, mau tak mau mereka harus menerimanya.

Mula mula, hanya saya yang manfaatkan lubang sampah tersebut. Tapi berbulan bulan kemudian, semua warga kost mulai ikut memanfaatkannya. Ketika lubang sudah penuh, saya kosongkan kembali. Tetangga kost tentu heran dengan apa yang saya lakukan. Tetapi setelah selesai pekerjaan, mereka lantas manggut-manggut tanda mengerti. Bapak kost pun senang ada tanah gembur tersedia untuknya menanam bunga.

Sementara itu, sampah besi dan kaca saya pisahkan sendiri. Jumlahnya memang tak begitu banyak. Hanya sampah jenis inilah yang kemudian dibuang ke tempat sampah umum untuk diolah oleh pemerintah. Sampah lainnya bisa kita tangani sendiri.

Ketika sudah bekerja di Waiwerang, saya tinggal di dalam kota di bilangan Wotan. Lubang sampah yang saya buat berhasil memecahkan masalah sampah yang menggunung di lingkungan itu. Tetangga sekitar ikut memanfaatkan lubang tersebut. Tanah gembur bekas lubang saya manfaatkan untuk menimbun bagian halaman yang rendah. Halaman menjadi rata, masalah sampah pun terpecahkan.

Ayo, mulai dengan lubang sampah di halaman Anda. Mari cintai bumi kita.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: