Persoalan
yang cukup mendasar di wilayah padat penduduk adalah sampah. Benda benda tak
terpakai ini jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan
bertambahnya penduduk. Dalam sebulan, setiap orang bisa menghasilkan satu
hingga lima kilogram sampah padat. Kalikan saja dengan jumlah penduduk,
katakanlah pada sebuah desa dengan populasi seribu jiwa. Maka jumlah sampah
yang dihasilkan per bulan bisa mencapai berton-ton. Hal ini cukup memusingkan
pemerintah sebab kemampuan mengendalikan persoalan sampah ini terbatas adanya.
Di
Kelurahan Waihali, Kota Larantuka minggu ini, posting medsos menyebut adanya
bak sampah yang sudah penuh dan bahkan sampai meluber ke luar bak. Tempat
pembuangan sementara di jalan Dolog ini sudah lebih dari seminggu tidak
diangkut. Di Waiwerang, saat sore hari para karyawan toko rutin menjatuhkan
sampah dari aktivitas usaha maupun rumah tangga ke dalam laut. Di Adonara
Barat, saya dapat kiriman foto ibu ibu dan remaja membuang sampah ke pantai
saat pagi hari. Pantai yang indah itu pun terganggu oleh tumpukan sampah,
sebelum air laut pasang membawanya entah ke mana.
Di
pihak berseberangan, para pemerhati lingkungan terus berusaha keras mengimbangi
okupansi sampah ini. Di Sarotari, ada komunitas orang muda yang sering
membersihkan pantai dari plastik yang berserakan. Mereka lakukan itu untuk
tetap menjaga keindahan pantai yang belakangan banyak dikunjungi tersebut. Di
Lewolere dan Waibalun pun berlangsung aktivitas yang sama beberapa waktu lalu.
Sementara di Lamahala, desa dengan penduduk terpadat di Flores timur, sejumlah
remaja dan Pramuka tahun lalu turun ke pantai untuk memungut sampah. Tapi
dengan jumlah gerakkan yang belum begitu massif, persoalan sampah tetap rutin
kita hadapi. Memecahkannya butuh sumber daya yang besar.
Tapi
kita lupakan dulu angka angka kolosal di atas. Bagaimanapun, berton-ton sampah
tersebut sebenarnya dihasilkan dari satu dua kilogram sampah dari rumah-rumah
penduduk. Di sini, kita sebenarnya bisa mencegah timbunan sampah yang menggunung
ini dari tingkat rumah tangga.
+Bagaimana
caranya?
-Dengan
lubang sampah!
+Lobang
sampah? Serius?
-Ya
serius.
+Kan
cepat penuh.
-Tapi
bisa dikosongkan lagi kan?
Lubang
sampah adalah tempat yang cukup baik untuk mendaur sampah, khususnya sampah
organik khas rumah tangga. Sisa-sisa makanan, kayu tak terpakai, dedaunan dan
sebagainya. Sampah ini mudah terurai oleh organisme pengurai. Sementara untuk
memecah masalah plastik, sayangnya, harus dengan cara dibakar.
Menjadi
relawan membuat lubang sampah sudah mulai saya lakukan sejak SMP. Itu saya
lakukan di asrama sekolah. Ketimbang membuang sampah di tempat terbuka yang
lantas diserakkan ayam atau angin, alangkah baiknya dikumpulkan di sebuah
lubang. Sendirian, tanpa dibantu siapapun, saya menggali lubang tersebut dengan
meminjam peralatan dari tetangga.
Perlahan,
lingkungan asrama pun kembali menjadi bersih karena hadirnya lubang sampah.
Mungkin lantaran itu, saya lantas ditunjuk jadi ketua asrama. Saat sampah mulai
penuh, saya punya trik lain: memindahkan sampah yang sudah menjadi tanah
tersebut untuk ditimbun di tempat lain.
Iya,
sampah dedaunan ataupun sisa sisa makanan lambat laun akan terurai oleh
organisme tanah. Semut, cacing, rayap kumbang dan lain-lain di sekitar akan
bahu membahu mengerubuti sampah. Dengan memakan sampah, mereka menyisakan
tanah. Sementara untuk sampah yang lama terurai seperti kertas dan plastik, ya
dibakar saja.
Dalam
satu hingga tiga bulan, lubang sampah terdebut akan penuh kembali. Tetapi
jangan gali tempat sampah baru. Cukup kosongkan atau gali kembali tempat sampah
yang sudah ada. Pisahkan galian menjadi empat bagian. Sampah, besi, kaca dan
tanah. Sampah yang tersisa kembalikan lagi ke lubang sampah. Besi dan kaca
simpan di karung untuk dibuang. Sementara tanah gembur manfaatkan untuk menanam
atau menimbun halaman. Tapi pastikan dulu tanah tersebut sudah bebas dari
sampah, besi dan pecahan kaca.
Trik
ini saya gunakan terus saat SMA, kuliah hingga ketika sudah bekerja. Saat SMA di
Larantuka, lubang sampah buatan saya ini dimanfaatkan pula oleh tetangga
sekitar. Tempat sampah tidak akan meluap karena selalu saya kosongkan kembali
setiap kali sudah penuh. Tanah dari lubang sampah adalah tanah subur yang bisa
digunakan untuk menanam bunga.
Saat
kuliah, di kost-kostan dengan penghuni belasan orang, saya gali tempat sampah
tepat di depan kamar. Tentu saja sebelumnya saya sudah minta ijin ke pemilik
kost. Tetangga kiri kanan protes. Tapi karena pemilik kost-kostan sudah setuju,
mau tak mau mereka harus menerimanya.
Mula
mula, hanya saya yang manfaatkan lubang sampah tersebut. Tapi berbulan bulan
kemudian, semua warga kost mulai ikut memanfaatkannya. Ketika lubang sudah
penuh, saya kosongkan kembali. Tetangga kost tentu heran dengan apa yang saya
lakukan. Tetapi setelah selesai pekerjaan, mereka lantas manggut-manggut tanda
mengerti. Bapak kost pun senang ada tanah gembur tersedia untuknya menanam
bunga.
Sementara
itu, sampah besi dan kaca saya pisahkan sendiri. Jumlahnya memang tak begitu
banyak. Hanya sampah jenis inilah yang kemudian dibuang ke tempat sampah umum
untuk diolah oleh pemerintah. Sampah lainnya bisa kita tangani sendiri.
Ketika
sudah bekerja di Waiwerang, saya tinggal di dalam kota di bilangan Wotan.
Lubang sampah yang saya buat berhasil memecahkan masalah sampah yang menggunung
di lingkungan itu. Tetangga sekitar ikut memanfaatkan lubang tersebut. Tanah
gembur bekas lubang saya manfaatkan untuk menimbun bagian halaman yang rendah.
Halaman menjadi rata, masalah sampah pun terpecahkan.
Ayo,
mulai dengan lubang sampah di halaman Anda. Mari cintai bumi kita.