Foto di depan Rumah Adat Etnis Kemak |
Hari ini coba menuju desa Sadi, desa terdepan yang berbatasan langsung dengan Timles. Garis batas negara ini letaknya dekat saja dengan kota Atambua. Jalan sabuk merah, sebutan untuk ruas jalan yang menghubungkan desa desa sepanjang perbatasan, kenyataanya melintas melalui tepian kota Atambua. Tepatnya dekat bandara Haliwen. Sebuah sungai yang membelah kota Atambua pun perjalanannya berakhir di wilayah Timor Leste sana.
Saya sengaja ke desa ini untuk menjemput keponakan. Ia bersama
rombongannya dari Kupang sedang ikut kegiatan KKM. Kegiatan ini sudah
berlangsung lebih dari seminggu. Karena ini hari Minggu, waktunya mengaso,
mungkin ia bisa diajak putar-putar sekitar kota. Yup, berangkat.
Meski cukup kesulitan karena nomor ponsel yang bersangkutan tidak
aktif, tak terlalu masalah karena desa ini mudah dijangkau. Jalannya licin
mulus belum lama dibangun. Jembatan Haliwen yang belakangan jadi landmark
adalah gerbang masuk menuju ke sana.
Meluncur dengan roda dua, saya lebih dahulu singgah di gereja. Ini
tempat kumpul warga desa di Minggu pagi. Pertemuan dengan warga desa siapapun
pasti bisa berlangsung di sana. Sayangnya, upacara misa baru saja dimulai
menjelang pukul sembilan. Daripada menunggu dan digigit nyamuk, mending saya
mondar mandir saja sekitar situ. Pertama menuju sekolah, kemudian menuju kantor
desa yang tak seberapa jauhnya.
Di kantor desa, saya temui seorang ibu. Bersama dua anaknya, si
ibu lagi sibuk mengisi air dari bak air umum. Saya tanyakan letak rumah Pak B.
"Banyak yang namanya Pak B di sini," kata si ibu.
Rupanya ia waspada karena saya wajah baru, jangan-jangan ada niat jahat hehe.
Saya pun sadar lalu memperkenalkan diri. Kemudian menyampaikan bahwa kerabat
saya adalah mahasiswa yang saat ini sedang tinggal di rumah Pak B.
Si ibu pun mahfum dan langsung menunjukkan lokasi rumah tersebut
lengkap dengan rinciannya. Tidak jauh, letaknya hanya sekitar tiga ratus meter
dari kantor desa. Saya pun mengayun langkah kembali ke parkiran roda dua di
gereja. Lalu meninggalkan tempat tersebut di mana sedang berkumandang
kotbah minggu.
Wilayah hunian di sini letaknya saling berjauhan sepanjang ruas
jalan. Areal pertanian terletak di arah tenggara, dihubungkan dengan jalan yang
lebih kecil. Jika terus melaju ke depan sana menyusuri jalan lintas batas ini,
ada beberapa buah jembatan yang baru dibangun, menghubungkan tepian sungai yang
cukup lebar.
Dibanding dengan desa tempat asal saya, luas wilayah desa desa ini
jauh lebih besar. Sebaliknya, kepadatan penduduk di sini lebih rendah. Tidak
ada kelompok perkampungan yang cukup besar karena letak hunian menyebar.
Struktur tanah di sini berupa lempung yang kurang subur. Karenanya
mayoritas lahan ditumbuhi padang rumput. Di komplek misi biasa ditanam sejenis
pohon-pohon besar. Anda bisa temui pohon-pohon besar ini di komplek katedral
atau di wilayah Biara SVD Nenuk. Selebihnya tanah ditumbuhi pohon-pohon kecil
dan semak. Wilayah berhutan rapat jarang dijumpai.
Saya pun tiba di depan sekelompok hunian sebagaimana keterangan si
ibu tadi. Di balik pagar kayu, tampak seorang ibu sedang menimba air sumur.
Saya tanyakan tentang lokasi rumah Pak B dan niat saya untuk bertemu mahasiswa.
Saya pun dipersilahkan masuk.
"Oh, iya di sini rumah Pak B," kata si Ibu.
Ia menjelasakan bahwa Pak B baru keluar. Tadi memang kami
berpapasan di depan pintu pagar.
Ia lalu mempersilakan saya duduk di emperan, lantas ke belakang
dan mengontak si suami.
Mengisi waktu menunggu, saya ngobrol dengan bocah SMP yang tampak
tidak ikut ke gereja pagi. Katanya ia kelas tiga dan sebentar lagi lanjut SMA.
Letak SMA ada di desa ini juga.
Saya tanyakan tentang kondisi air sumur yang ternyata tidak kering
di musim kemarau. Penggunanya memang belum banyak karena belum padat hunian.
Kalau di dalam kota, sumur lebih cepat mengering karena penggunanya banyak.
Muncul pula seorang nenek, tampak ramah menyalami saya. Saya coba
cerita tentang tujuan kedatangan saya, tapi si bocah SMP mengatakan bahwa si
nenek tidak bisa berbahasa melayu. Yup, agak berbeda dengan di Flores Timur di
mana bahasa melayu adalah bahasa pasaran, di sini generasi tua tak bisa
menggunakannya.
Di depan rumah, jalan lintas batas memang belum ramai dilalui.
Sesekali pedagang keliling lewat dengan menjajakan ikan kering atau kebutuhan
rumah tangga lainnya. Jika hari hari sekolah, siswa siswi berombongan muncul
dari rumah mereka yang berjauhan.
Di Flores, anak-anak sekolah biasanya cukup terbuka dengan orang
baru. Misalnya jika kita melintas dengan sepeda motor, mereka sering minta
tumpangan untuk ke sekolah walau tak saling mengenal. Kalau di Timor, atau
setidaknya Atambua, hal ini tidak berlaku. Bahkan jika anda menawari tumpangan,
mereka tetap tak bereaksi. Lain padang memang lain belalang.
Tak lama, muncul Pak B si kepala keluarga. Ia cukup ramah juga.
Saya cerita tentang tujuan kedatangan saya. Ia pun mengatakan bahwa anak
asuhnya tidak bercerita sama sekali kalau punya kerabat di kota Atambua. Jadi,
kedatangan saya ini tentu tak diduga. Ia lalu banyak bercerita tentang keadaan
dan kegiatan anak asuhnya yang berjumlah dua orang itu. Ada juga tiga mahasiswi
lain yang diasuh di rumah tetangga.
Ia sendiri mengaku heran bahwa para mahasiswa itu tak saling
kenal. Katanya berasal dari satu kampus tapi baru saling kenal ketika tiba di
lokasi. Para mahasiswa tersebut menjelaskan bahwa mereka berasal dari
fakultas yang berbeda-beda.
Kami lanjut ngobrol di emperan sambil ngopi pagi. Menunggu gereja
usai dan anak-anak asuhnya pulang. Rencananya, hari ini kami putar-putar dengan
roda dua ke Motaain.
Jelang siang, empat orang cowok dengan dua sepeda motor melaju ke
Motaain. Kami foto-foto di sana sebagai kenangan. Pengunjung lumayan ramai.
Mayoritasnya adalah mahasiswa KKM dari Kupang sana.
Perjalanan berlanjut ke pantai Pasir Putih dan Sukarlaran.
Kemudian terus ke arah tenggara menuju Atapupu di wilayah kecamatan Kakuluk
Mesak. Lalu mengikuti satu-satunya jalan utama itu kembali ke kontrakkan saya
di dalam kota.
Makan siang dulu di kontrakan. Jelang sore, lanjut ke sebuah cafe
di tengah-tengah kota dan ngopi di sana. Kebetulan pelayan cafe adalah sahabat
ponaan ini dari pulau Rote sana.
Kami pun kembali ke desa Sadi saat matahari hampir tenggelam.
Mengobrol ngalor ngidul tentang kondisi desa. Dari cerita Pak B, desa Sadi ini adalah
pemekaran dari desa Umaklaran di selatan. Bahkan dulu wilayahnya jauh lebih
luas lagi, mencakup desa Manleten, desa terluas di Kecamatan Tasifeto Timur
ini.
Dulunya desa ini lumayan ramai dilintasi kendaraan saat panen
kacang. Untuk ke dalam kota, sangat beresiko di musim hujan. Mereka harus
menyeberangi sungai yang hulunya jauh di tengah pulau Timor. Mesti waspada
kalau menyeberang. Sewaktu-waktu air bah datang tak terduga. Apalagi jika di
hulu sedang mendung, tak ada yang berani melintas. Setiap tahun ada saja berita
korban jiwa yang terseret banjir sungai.
Dua tahun lalu, jembatan panjang Haliwen pun didirikan. Kisah
sungai penuh bahaya pun akhirnya tinggal cerita masa lalu. Dan karenanya,
presiden petahana pada pemilu baru lalu pun memborong perolehan suara di sana.
Warga desa ini termasuk etnis Kemak. Identitas ini membedakan
mereka dengan etnis Marae yang menghuni kecamatan tetangga. Meski beda etnis,
rata-rata semua bisa berbahasa Tetun. Yang membedakan hanya aksen dan
pengucapan beberapa buah kata.
Pencaharian utama mereka adalah usaha ternak dan sawah. Di luar
musim kebun, mereka bisa mencari pekerjaan lain di dalam kota. Sementara etnis
Marae, tetangga mereka, terkenal dengan usaha palawija dan sayur-sayuran. Ini
karena letak wilayah mereka di ketinggian. Para penjaja sayur-sayuran di dalam
kota hampir dapat dipastikan berasal dari etnis ini.
Sebaran etnis ini tak melulu hanya di wilayah Indonesia. Keluarga
besar mereka yang lain menghuni negara tetangga. Satu garis kekerabatan yang
sama ini oleh kolonial dipisah menjadi dua negara. Untuk melintas, mereka harus
menunjukkan pass khusus. Padahal, wilayah dua negara ini hanya dibatasi oleh
sungai. Di jaman dulu, kalau ada yang terhanyut, maka harus dicari di wilayah
Timor Leste karena aliran sungai ini menuju ke arah utara sana.