Selasa, 22 Oktober 2019

Ecobric, Solusi Sampah Plastik di Wilayah Hunian

Tiada hari tanpa sampah plastik. Begitulah gaya hidup masyarakat urban kini. Belanja di pasar, butuh tas plastik untuk sayur dan ikan. Ke kios, juga butuh tas plastik. Pengecualian ada pada ibu-ibu yang berangkat dari rumah untuk belanja. Mereka sudah siapkan sendiri keranjang belanja untuk mencegah pemakaian tas plastik berlebih.
Namun bagi sebagian besar orang, titik berangkat untuk belanja bukanlah dari dapur rumah. Mereka berangkat dari tempat kerja atau dari tempat aktivitas lain. Akibatnya, keranjang belanja tidak mereka siapkan sendiri. Pilihan terakhir, tas plastiklah yang jadi solusinya.
Dihitung per bulan, ada ratusan tas plastik yang dikonsumsi tiap keluarga. Semuanya berujung menjadi sampah. Dan karena kebiasaan memilah belum begitu populer, sampah jenis ini pun bercampur dengan sampah organik. Terciptalah tumpukan sampah dalam volume besar yang memunculkan kesan sulit ditangani. Namun kalau dilihat lebih jeli, sampah plastik ini jumlahnya tidak seberapa. Kesan massif justru datang dari sampah organik tercampur, yang jumlahnya jauh berlipatganda dibanding sampah plastik sendiri.
Bagaimana mengatasinya? Ada banyak cara. Dan salah satunya adalah dengan pemilahan serta pemadatan. Seperti yang saya sebut di atas, sampah plastik ini jumlahnya tak seberapa. Ratusan tas plastik beratnya tidak mencapai satu kilogram. Saya tidak punya data, tapi saya punya taksiran bahwa seribu tas plastik beratnya paling sekitar satu atau dua kilogram. Itu bukan jumlah yang masif. Namun jika seribu tas plastik itu berserakan di satu lokasi, pemandangan akan tampak sangat kotor dan begitu mengganggu.
Untuk memadatkan sampah non organik ini, terlebih dahulu harus dicacah menggunakan alat potong. Pakai gunting kecil untuk mencacah tas atau kemasan plastik. Sementara gunting besar jadikan pencacah bungkusan dari kertas atau kardus. Cacah semua plastik kemasan tersebut seukuran daun kembang sepatu. Lipat-lipat dahulu sebelum dipotong supaya lebih cepat. Dari bungkus sarimi hingga tas plastik, semuanya bisa anda tampung di satu wadah seperti karung. Sementara kemasan kertas atau kardus bisa disimpan di wadah yang lain.
Kegiatan mencacah ini memang cukup memakan waktu. Namun dengan populasi kaum muda yang banyak, ini bukan masalah besar. Beri mereka kepercayaan mengerjakan ini dengan terlebih dahulu menunjukkan contoh. Biasakan mereka mengatasi persoalan sampah sejak dini agar berguna di masa depan.
Untuk tas plastik basah sayuran atau ikan, biarkan dulu beberapa hari supaya kering. Sementara untuk tas plastik kering, segera cacah usai digunakan. Begitu pula untuk kemasan karton atau kardus. Gunakan juga penyaring udara di hidung saat bekerja. Jika kedua jenis sampah ini habis dicacah, tinggal tersisa sampah organik. Sampah organik ini biarkan saja membusuk di tempat sampah atau ditangani oleh petugas.
Setelah dicacah, sampah dari tas plastik bisa anda padatkan. Gunakan kemasan air aqua, kemasan minyak goreng, botol kaca, kaleng, atau kemasan rigid lainnya. Jika tidak punya, beli saja botol plastik. Minta anak-anak mencari dua botol plastik dihargai seribu rupiah. Dalam sekejab, botol-botol plastik akan berdatangan ke rumah. Saya pernah coba kok di kampung hahaha.
Setiap botol plastik mampu menampung ratusan tas plastik yang sudah dicacah. Seribu tas plastik mungkin hanya butuh botol plastik kurang dari sepuluh. Ini lebih aman bagi lingkungan ketimbang membiarkan tas plastik terbuang berserakan. Cara memadatkan sampah pada botol kemasan ini biasa disebut dengan nama "ecobric". Ecobric kini mulai marak digalakkan di sekolah-sekolah.
Pemadatan bukan hanya bisa dilakukan untuk tas plastik. Benda plastik lain pun bisa dipadatkan hingga tidak memakan tempat. Caranya, gunakan alat potong lain seperti parang atau kapak untuk mencacah. Simpan pecahan-pecahan kecil tersebut di gudang. Suatu saat, mungkin ada pembeli sampah yang membutuhkannya untuk membuat paving block dari plastik.
Sekali lagi, kegiatan mencacah memang memakan waktu. Namun jika setiap rumah tangga melakukannya, kita sudah membantu meringankan lebih dari separuh pekerjaan petugas sampah. Pemerintah desa pun bisa mengadopsi cara ini dengan menerapkan bank sampah. Jangan terima sampah mentah. Terimalah sampah plastik cacah dihitung per kilo. Bayar mereka sesuai berat sampah tersebut. Jangan pula terima sampah organik atau kertas. Sampah organik biarlah ditangani petugas sebab jumlahnya yang besar tak akan tertangani biayanya. Sampah organik ini dibuang saja di tempat sampah pribadi atau komunal untuk menyuburkan tanah. Sementara sampah kertas yang bahannya dari serat kayu, kuburkan saja di tanah pekarangan. Rayap akan sangat senang menemui santapan gratis dari relawan sampah.
Saat menulis caratan hari ini, saya sendiri sudah menerapkan di hunian. Di dapur saya punya dua karung. Satu untuk sampah plastik, satunya lagi untuk sampah kertas. Setengah karung sampah plastik belanjaan bisa saya padatkan di satu botol aqua kecil. Untuk kebutuhan setahun, saya tidak butuh banyak botol. Dengan begitu, saya tidak begitu merasa bersalah mengguyur kali dengan sampah plastik yang nantinya mengotori lautan.
Memang, meskipun tinggal di wilayah kelurahan, penanganan sampah di sini tidak begitu baik. Begitu pula yang saya alami ketika masih tinggal di Waiwerang. Penanganan sampah tidak maksimal. Anak muda Adonara pun kesadaran penanganan sampah masih perlu ditingkatkan. Pengalaman sepintas sempat saya amati waktu ziarah OMK di Wureh tahun 2015 lalu. Usai acara santap ketupat, hanya kami dari OMK Waiwerang yang kompak tanpa dikomando membersihkan lokasi kegiatan kami dari sampah. Kelompok lain belum mengikuti sehingga sampah masih dibiarkan berserakan.
Mari bangun kebiasaan ini sejak dari hunian masing-masing. Baik di sekolah, kampus, asrama, kost, atau rumah sendiri, kita bisa lakukan. Setidaknya dengan cara ini, kita sudah menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada ibu bumi. (Simpet Soge)
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: