Jumat, 15 Mei 2020

Prioritas Pembangunan dan Hegemoni Aparatur Supra Desa

Jika anda amati proses pengalokasian dana desa, sungguh kentara intervensi pemerintah supra desa di dalamnya. Baik pihak kecamatan, kabupaten hingga provinsi, semuanya berebut alokasi dalam penetapan prioritas pembangunan. Terdapat sejumlah program titipan dari pemerintahan atasan yang pembiayaannya dibebankan ke dana desa. Alih-alih mengalokasikan anggaran untuk pembangunan desa, lembaga lembaga tersebut malah ikut menikmati pecahan kue dari dana desa yang jumlahnya tidak seberapa besar itu. Bentuk yang mereka nikmati berupa pembiayaan program.
Cuti tahunan 2019 lalu, saya mudik ke kampung. Desa meminta saya memasukkan dokumen, dan pas: saya datang saat sedang berlangsung rapat penetapan alokasi dana desa. Ada banyak warga dan perwakilan elemen warga yang hadir. Dan saya sebagai salah satu warga diberi kesempatan mengajukan usul pada forum.
Di desa asal saya, prioritas pembangunan menyasar jalan tani. Kami tahu, satu-satunya hambatan di wilayah subur adalah tiadanya infrastruktur jalan. Tanpa jalan yang baik, produksi yang melimpah tidak mencapai pasar. Pisang hanya membusuk di pohon. Kebun produktif banyak yang telantar. Padahal, lokasinya tidak begitu jauh dari pasar.

Solusinya, ya bangun jalan tani. Seberapa sulit, eh salah: seberapa mudah? Dalam sehari, satu kelompok kerja berjumlah dua puluhan orang bisa menyelesaikan dua puluh meter rabat. Asumsinya material tersedia cukup dan mesin molen beton beroperasi baik.
Jika target setahun satu kilometer, maka cuma butuh lima puluh hari kerja untuk menyelesaikannya. Dan kalau di desa ada lima kelompok kerja, maka masing-masing kelompok punya kewajiban sepuluh hari kerja dalam setahun. Berat? Tentu tidak. Ini malah ringan sekali dibandingkan dengan kerja membuka kebun yang merupakan mata pencaharian utama warga.
Olehnya, sudah lima tahun berturut-turut ini desa kami mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk membangun jalan. Sistemnya padat karya. HOK dibayar tunai. Material lokal dibeli dari warga mengikuti harga pasaran. Kini, total sudah empat kilometer jalan yang bisa dinikmati.
Belakangan, santer terdengar program-program pemerintah supra desa yang pembiayaannya menyusu dari dana desa. Sebut saja di provinsi NTT ada program rumah layak huni (RLH), di kabupaten Flores Timur ada program stunting sebesar lima puluh juta, dan di kecamatan Adonara Barat ada program Posduren. Semuanya menyasar dana desa sebagai sumber pendanaan.
Saat pertemuan yang saya hadiri waktu itu, di depan warga dibacakan item belanja semacam vitamin, obat tambah darah dan tetek bengek lain yang dibiayai dari dana desa. Dibacakan langsung oleh petugas kesehatan dari kecamatan. Tidak saya catat berapa jumlah belanjanya, tetapi pecahan dana untuk program tersebut tentu saja ikut menggerogoti jumlah dana desa yang sudah sedikit itu. Alhasil, target satu kilometer jalan untuk tahun 2020 ini tidak tercapai.
Ketika sesi berikut di mana persentase belanja masing-masing dari total general anggaran ingin dipertanyakan forum, si petugas dari kecamatan malah sudah pergi duluan setelah anggaran untuk program instansinya ditetapkan pada awal pertemuan.
Forum mempertanyakan tentang prioritas pembangunan di desa yang agak diabaikan. Namun pemerintah desa melalui kepala desa kembali menegaskan tentang prioritas kepemimpinannya yang antara lain pembangunan infrastruktur jalan tani.
Terkait program pemerintah supra desa semacam rumah layak huni, stunting, Posduren dan lain-lain, saya pribadi sangat mendukung. Namun jika pelaksanaannya diwajibkan, ini yang saya tentang. Setiap desa punya karakter unik, begitu pula cara menyikapi tantangan pembangunan yang ada. Contoh untuk rumah layak huni, di kabupaten Flores Timur jumlahnya sudah cukup memadai. Tidak begitu perlu anggaran besar untuk pembangunannya. Sementara di kabupaten lain kondisinya berbeda.
Mungkin ada yang tanya: kenapa masih banyak yang tidak layak huni di pedalaman? Saya kasih jawaban versi saya: biaya tinggi pengadaan material bangunan. Sebabnya karena ongkos transportasi yang mahal akibat tiadanya infrastruktur jalan. Saya jamin, jika akses transportasi masuk, warga akan lebih mampu membangun rumah layak.
Berikut, terkait stunting. Kenapa angka stunting tinggi? Banyak alasannya yang bisa disodor. Tapi yang mengherankan, mengapa stunting masih melanda wilayah subur semacam Adonara Barat? Makanan melimpah dan malah berlebihan hingga dijual keluar wilayah. Sumber protein cukup tersedia baik di alam maupun di pasar. Ada alasan versi saya: akses ke sumber makanan terhambat oleh transportasi. Bayangkan saja untuk jatah makan selama seminggu ibu-ibu harus berjuang setengah mati menjunjung puluhan kilo makanan menuju kampung untuk disantap sekeluarga. Kalau si ibu tak kuat, anaknya jadi korban stunting. Jadi stunting bukan karena tidak cukupnya pasokan pangan melainkan akses ke sumber pangan yang sulit. Ini memang sering didengung-dengungkan di buku pajangan di kantor-kantor LSM. Saya jamin jika infrastruktur dibangun ke pedalaman, angka stunting bisa lebih cepat ditekan.
Sepanjang kesimpulan saya di atas, ujung-ujungnya adalah infrastruktur. Maka target unik pembangunan di desa saya adalah jalan. Program lainnya boleh saja masuk, tapi prosentasenya bisa diperkecil sehingga tidak menggangu konsentrasi utama pembangunan yang sudah ada. Bila perlu program dari Provinsi maupun kabupaten serta kecamatan dialokasikan secara bertahap dari tahun ke tahun. Tidak perlu dipaksakan berjalan sekaligus dalam satu tahun. Sementara untuk desa lainnya yang belum punya prioritas yang mendesak, silahkan adopsi program dari atas ini.
Sekian, mari ikut urun rembuk sumbang saran dalam membangun desa kita. (Simpet Soge, warga Desa Watobaya, Adonara Barat)


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: